Différent ; 55. Beautiful Smile

554 114 40
                                    

HAPPY READING

Hidup berjalan sebagaimana mestinya, menerima takdir dan menjalankannya dengan lapang dada. Meski terkadang takdir yang diterima tak sesuai dengan harapan, manusia bisa apa?

Setelah menjalani pemeriksaan pagi, dokter mengatakan jika Rora telah kembali membaik. Mungkin hanya beberapa kali merasa nyeri di perut, atau kesulitan bernapas. Dokter Fredrick mengatakan jika itu hal normal, selama Rora masih rutin melakukan cuci darah maka semua akan tetap bisa di atasi.

Waktu menunjukkan pukul 8 pagi, itu berarti satu jam lagi Rami dan Canny akan sampai. Helaan napasnya terdengar jelas di ruangan yang hanya terisi olehnya itu. Sang ibu sedang pamit untuk membeli sarapan, sedangkan sang ayah sedang pulang ke apartemen untuk membersihkan diri dan mungkin akan langsung kembali ke bandara untuk menjemput Rami dan Canny.

Melihat bagaimana keluarganya yang selalu mondar-mandir untuknya, membuat Rora terharu sekaligus sedih. Rasanya begitu bahagia saat melihat keluarganya yang begitu peduli padanya. Pun turut sedih, karena dirinya begitu lemah dan seolah menjadi beban untuk keluarganya.

"Terimakasih. Kalian begitu berjasa untukku." monolognya lirih, bersamaan dengan jatuhnya air mata dari kedua sudut matanya.

Cklek

Rora segera menghapus jejak air matanya ketika pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok Ruka di sana. Senyumnya merekah saat melihat sorot mata bahagia dari kedua netra sang kakak.

Ruka berjalan menuju bangsal Rora. Dia merendahkan tubuhnya untuk mencium sayang hampir seluruh wajah sang adik, hingga menimbulkan tawa kecil dari si empu.

"Kakak, sudah." Tawanya masih mengalun, dan itu jelas menimbulkan senyum manis dari Ruka.

"Senangnya melihat adik kecil ini membaik. Bagaimana keadaan mu, adik kecil?" Pertanyaan dari Ruka menimbulkan anggukan semangat dari Rora.

"Sudah jauh lebih baik." katanya dengan semangat, jangan lupakan senyum manisnya.

Mendengar itu, Ruka mengangguk paham. Ia berjalan menuju menuju meja di ruangan itu untuk mengambil laptop, lalu membawanya kembali menuju kursi di sebelah bangsal Rora.

"Aku akan menjagamu sambil bekerja. Tidak apa-apa?"

Rora mengangguk, "tidak apa-apa. Lakukanlah."

Dan setelah mendapatkan persetujuan dari Rora, Ruka lantas mulai melakukannya. Menjadi satu-satunya penerus perusahaan membuat Ruka tak lagi bisa untuk sekedar bermain-main dengan jabatannya. Terlebih dengan fakta, jika sebentar lagi dirinya akan pindah ke Kanada untuk memegang inti perusahaan di sana.

Ah, atau belum. Rasanya terlalu egois jika dia memaksa pergi di saat kondisi salah satu adik bungsunya tidak baik. Selain itu, dia bukan tipe orang yang pandai menahan rindu. Bagaimana jika dia baru sampai dan kembali merindukan keluarganya di Korea?

"Kakak besar, boleh aku meminjam ponsel untuk menghubungi kak Heeseung?"

Ruka menoleh, sedikit mengernyit tapi langsung mengangguk. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku, lalu menyerahkan benda pipih itu pada Rora.

"Ini."

Rora menerimanya dengan senyum manis yang terpatri, "terimakasih."

Ruka mengangguk, lalu mulai kembali fokus pada pekerjaannya. Ia tidak melarang Rora, karena tahu jika Heeseung adalah sosok yang telah memberitahu mengenai siapa orang yang telah berusaha untuk mencelakai Rora.

Selain itu, Heeseung pun ikut berperan penting dalam menjaga Rora di sekolah. Sosok penjaga perpustakaan itu sering kali menemani Rora belajar di perpustakaan-- menurut ucapan sang adik. Bahkan tak jarang dirinya melihat Heeseung yang duduk di bangku taman bersama sang adik untuk menemaninya menunggu jemputan.

Différent [✓]Where stories live. Discover now