Différent ; 36. The Twins and the Role of Mama Papa

856 134 44
                                    

HAPPY READING

Di ruang operasi, Rora hanya bisa menatap ke atas. Dia masih sepenuhnya sadar, dan sedang menunggu dokter untuk menyuntikkan obat bius di infus miliknya.

Selama menunggu, jantung Rora berdetak sangat kencang. Hal itu berhasil membuatnya gugup. Ada banyak hal yang ia takutkan, salah satunya tentu dengan nasib yang akan menimpanya setelah ini.

Apakah aku akan sembuh? Atau justru kematian yang akan menghampiri ku?

Pertanyaan itu terus menerus berkeliaran di kepala Rora. Dia rela jika memang ini akan menjadi akhir dari perjalanan hidupnya. Tapi sebagai manusia, Rora juga ingin meneruskan hidup. Apalagi melihat bagaimana keluarganya yang menyemangati-nya, keinginan Rora untuk hidup lebih lama tentu semakin besar.

"Just relax, little sister. Pray for God for the best for you, understand?"

(Santai saja, adik kecil. Berdoalah pada Tuhan untuk dirimu. Mengerti?)

Rora tersentak dari lamunannya saat seorang perawat mendatanginya. Perawat itu terlihat sedang menyuntikkan cairan yang ia yakini sebagai obat bius ke dalam infus miliknya.

Rora tersenyum lalu mengangguk, "thank you, Miss."

Perawat itu mengangguk, lalu setelah itu pergi dari sisi Rora dan digantikan oleh rekannya yang lain. Salah seorang mantri mendatangi Rora, atau lebih tepatnya mendatangi sebelah bangsal Rora. Mantri itu tengah mengutak-atik elektrokardiogram, tak lama dia memasangkan sebuah venturi mask pada Rora.

"You have to believe that everything will be fine. Go to sleep, we'll take over everything from here."

(Kamu harus percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidurlah, kami akan mengambil alih semuanya dari sini.)

Seperti sihir, kata-kata penenang dari seorang mantri itu berhasil membuat netra Rora terpejam, bersama dengan elusan di kepalanya yang samar-samar mulai menghilang. Rora telah sepenuhnya berada di alam bawah sadarnya.

Dokter Fredrick memasuki ruang operasi setelah membenahi pakaiannya. Ia tersenyum kecil, lalu mulai berjalan dan berdiri di samping Rora. Di susul oleh para medis lainnya yang kini berdiri melingkar di bangsal Rora.

"Surgery... will begin soon."

(Operasi... akan segera dimulai.)

__________

Canny yakin dia baik-baik saja. Senyum manis itu masih terpatri di wajah manisnya, meskipun air mata tak berhenti sedari tadi. Ia menarik napas dalam sebelum kembali menghembuskannya perlahan.

"Dain akan baik-baik saja, Canny. Dia akan baik-baik saja."

Canny bergumam lirih. Sedari tadi yang ia lakukan hanyalah menyemangati dirinya sendiri. Mengatakan bahwa Rora akan baik-baik saja, dan akan segera kembali pada mereka semua.

Saat ini, dirinya tengah berada di taman rumah sakit. Duduk di salah satu kursi ayunan, dengan netra yang menatap ke depan. Ia tersenyum kecil saat melihat bagaimana anak-anak kecil yang berlarian di sana, bahkan sebagian besar dari anak-anak itu membawa infus di tangannya.

"Dain, menurut kamu, apakah kita saudara?"

"Tentu saja. Kamu, kan, adikku."

"Bukan begitu. Maksud ku, apakah orang tua kita sama? Apakah kita saudara dari ayah dan ibu yang sama?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Jika kita bukan saudara sedarah, apakah kamu tidak mau lagi menjadi adikku?"

Ingatan itu kembali menghampiri, dan berhasil membuat Canny menangis lagi. Ia terisak pelan, lalu kembali menghapus air matanya.

Différent [✓]Where stories live. Discover now