📜 39.00

46 12 1
                                    

BUGH!

entah sudah yang ke berapa kalinya, lelaki itu—Oh Sehun— selalu memukul setir dan mengumpat pelan dalam kemudinya. Matanya bergulir ke sana dan kemari, memandang kendaraan lalu lalang dan juga jalanan raya tanpa arah. Dirinya, menghela nafas lelah.

Mengapa, mengapa pikirnya. hanya dengan mengapa dirinya ajukan pertanyaan untuk takdir, mengapa semuanya seperti ini?

Kekacauan ini sesungguhnya tidak ada dalam list perencanaan dirinya dengan Tuhan sebelum dilahirkan sungguh. Jika bisa minta, sepertinya dia lebih ingin kembali saja ke tuhan daripada menanggung beban seperti ini.

Hey, sadar bung! kau lah yang buat semua kekacauan ini!

Sehun mengangguk. Membenarkan isi pikirannya yang tiba-tiba menyeru dengan keras, seolah ingin keluar—menentang pertentangan Sehun oleh takdir.

Dirinya tahu, dialah yang membuat semua kekacauan ini ada. Awal mula hubungan terlarang dirinya dengan Yoona, perselingkuhan, penyakitnya, dan masa lalu kelamnya.

Seandainya dia bisa jujur... Kembali, lelaki itu menghela nafas lelah. Tidak, tidak segampang itu. Mengatakan hal yang sejujurnya kepada orang lain selain dirinya adalah hal terberat yang belum pernah dirinya berani coba.

Karena dia pikir—buat apa? Buat apa mengetahui sisi lemah seseorang, jika pada suatu saat nanti, kelemahan itu lah yang menjadi bom atom yang siap meledak kembali ke dirinya.

Itulah yang dirinya pikirkan selama berhubungan dengan Irene. Tiga tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Kepercayaan dalam dirinya untuk memercayai Irene sepenuhnya—sama seperti gadis itu yang memercai Sehun sepenuhnya— masih belum bisa terjalin. Ada sensasi ketakutan dan trauma sendiri yang dibayangkan oleh Sehun, jika andai-andai dirinya mengungkapkan segalanya pada Irene dahulu.

Maka dari itu, dirinya terus berjalan pada duri kebohongan selama bertahun-tahun dan menutupinya dengan jeruji besi paten agar tidak bisa tercium atau tertampak pada orang-orang yang sebenarnya.

"itu juga alasan utama gue ninggalin Irene," gumamnya lemah, menatap kosong jalanan depan. Tangannya sudah berhenti memukul, kini diganti dengan pikiran yang berkecamuk pun dengan perasaan yang mengkalut.

Irene tidak boleh tahu alasan dibalik dirinya mencampakkan gadis itu. Cukup, penyakitnya. Ya, benar hanya penyakitnya, walaupun sebenarnya Sehun juga tidak tahu gadis itu mengetahuinya dari mana.

Akankah Yuri? Tidak, dirinya tidak pernah menceritakan sedikitpun pada Yuri, tapi maminya? Bisa jadi.

Arghh!

Satu tangannya yang menganggur dibawanya untuk mengacak rambutnya frustasi. Tidak bisa memejamkan mata, karena dirinya sedang menyetir, bisa-bisa dirinya benar-benar mendatangi tuhan sekarang.

Ting!

Satu notifikasi masuk terdengar dari ponselnya yang diletakkan di dashboard, dirinya melirik pelan. Biasanya jika notif seperti itu akan tampak di layar kunci sebelum waktu tunggu layar mati, jadi tidak menjadi beban untuknya, mengambil dan mengecek lagi.

Yoona ( 1 pesan baru)
Aku minta maaf.

Sehun melihat notif itu. Setelahnya kembali memandangi jalan. Entah, untuk saat ini dirinya tidak mau mengambil keputusan yang salah, maka dari itu yang benar adalah dirinya menjauhi Yoona terlebih dahulu. Hanya untuk beberapa saat, setelah semuanya kembali tenang dirinya akan mencoba mengatur jarak kembali.

Tiba di belokan, terdapat air mancur besar yang berada ditengah menyambut indera penglihatan, tepat di seberangnya juga ada warung yang sangat dikenalinya.

Sejenak dirinya termenung, memberi efek kedalam kemudinya yang juga memelan. Tapi, belum beberapa saat berlalu, dirinya menoleh, menarik ponselnya dan menganal nomor yang sudah berada di luar kepalanya.

Mencoba menghubungi. Setidaknya kali ini, biarkan kesempatan itu datang dan mengizinkannya kin—

"Kenapa?" Jawab seseorang diseberang telepon, saat tersambung.

Sehun tersenyum lebar menyambut irama suara itu yang mengalun indah.

"Sibuk?" Basa-basinya. Sedikit meringis, saat di seberangnya tak kunjung menjawab pertanyaannya, apakah dirinya terlalu to the point?

"Gue sibuk. Emangnya kenapa?" Balasan itu tak ayal membuat semangat Sehun menyurut layaknya kembang api yang mulai habis.

"Gue mau minum sama lo." Jelasnya. Memberikan kepastian yang haqiqi agar basa-basi ini tidak terlalu berkepanjangan. Sejujurnya, karena dirinya sudah tidak sabar ingin bertemu orang itu.

"Sakit ya lo? Tiba-tiba nelepon ngajakin minum bareng. Emang di rumah Yoona kehabisan minuman? Gembel banget!" Rutuk orang itu. Sehun terkekeh kecil, dirinya mengetuk-ngetuk jarinya di kemudi.

"Hem, habis. Mau ga?" Pastinya lagi. Dirinya sebenernya sangat benci situasi ini, dimana merasa digantung akan sesuatu seperti menunggu jawaban dan kepastian dari orang itu yang sedikit lama.

"Jangan jadiin gue pelarian dari masalah lo, hun." Katanya telak. Cukup membuat Sehun yang menerbitkan senyuman sedari tadi, kini luntur dengan sempurna.

Dirinya memandang tepi jalanan dengan rahang yang mengeras, dan kuku tangan yang memutih akibat terkepal.

"Fuck! gue benci situasi ini." makinya, Namun masih dapat terdengar ternyata di balik telepon. Orang disebrangnya terdengar menghela nafas lelah.

Sebelum kembali mengeluarkan kata, panggilan itu terputus—secara sepihak. Irene memutus panggilannya. Mengakhiri kesempatan mereka berdua untuk yang kesekian.

Jarak itu—seperti rantai yang tak kasat mata, mengikat dirinya dan juga Irene dalam kejauhan yang tidak bisa dipandang. Lelaki itu tersenyum getir, setelahnya kalimat sakral itu terucap,

"Maaf."

___________________________
TO BE CONTINUE

cerita yang sangat amat meng-alay ini balik lagi, ada yang nungguin? Niatnya besok sekalian up 2 part, tapi kuota sekarat jadinya part ini dulu deh yang di up hehehww.

met malam semuaa♥️

SOMEONE 2 | HUNRENE Where stories live. Discover now