Ephemeral Love 43

25.3K 1.7K 2
                                    

Adrian menjumpai Amos di ruangan pria itu.

“Apa ada kemajuan?” tanya Adrian dingin.

“Duduklah, tuan. Cctv saat itu tidak bisa merekam sudutnya. Dan pada kasus pertama, cctv justru nonaktif. Tapi saya mencurigai pelaku adalah perempuan,” ujar Amos.

Adrian duduk dan mendengarkan.

“Kedua korban adalah perempuan, mereka merupakan pegawai di perusahaan anda. Mungkin saja ini berhubungan dengan ledakan di cabang perusahaan anda dulu.”

“Kenapa kamu mengaitkannya? Kamu mengatakan kejadian itu murni kecelakaan dengan semua buktinya. Sekarang kamu menyangkal?” Adrian menajamkan matanya.

“Benar, tuan. Ledakan itu disebabkan oleh gas, tapi insting ku mengatakan bahwa seseorang sengaja melakukannya. Dan ini berhubungan dengan pembunuhan itu. Ku rasa ini salah satu musuh anda,” jelas Amos.

“Musuh sekaligus orang terdekat anda, tuan.”

“Apa yang membuatmu berpikir bahwa pelaku adalah perempuan?”

Amos mengambil barang bukti itu. Sebuah lipstik yang masih tersegel, gunting, dan pisau tipis.

“Pisau bedah?” Adrian menatap benda itu.

“Dua tusukan di arteri karotis kanan dan di liver. Korban tewas kehabisan darah. Rekaman ini ...” Amos membalikkan laptopnya.

Sebuah tayangan muncul. Beberapa orang mulai berjalan melewati titik cctv itu, sampai pada waktu perkiraan kejadian. Seorang wanita dengan jubah hitam tertutup, berjalan dengan lagak mencurigakan. Satu-satunya yang dapat dilihat adalah rambut hitamnya yang menggunakan pita putih.

Adrian terdiam. Saat kejadian itu, istrinya menggunakan pita putih di rambutnya.

“Kamu mencurigai istriku?” tanya Adrian.

“Tidak, tuan. Saya bersumpah tidak mencurigai nyonya Flora setelah rekaman yang dikirim oleh pak Crish. Nyonya Flora berada di ruangan anda selama perkiraan waktu kejadian, itu pun bersama anda dan nyonya besar.” Amos langsung menyanggah.

“Hanya saja siapa yang bisa keluar masuk dengan bebas ke ruangan bapak dan menonaktifkan cctv? Dan hanya orang tertentu yang tahu titik vital manusia. Meski pada awalnya saya menaruh curiga pada nyonya Flora, saya menyanggah itu sekarang ini.”

“Baiklah, bekerja keraslah Amos. Aku berterimakasih atas bantuan mu, tapi aku tidak bermain-main dengan ancaman ku. Aku pulang dulu,” ucap Adrian.

“Baik, tuan.” Amos pun mengantar pria itu keluar.

--o0o--

Adrian tiba di rumah sakit. Dia yang akan menjemput istrinya saat ini.

“Eh?” Flora yang sedang mengurus sesuatu di resepsionis menghampiri suaminya.

“Ada apa ke sini?” tanya Flora.

“Ini rumah sakit ku,” ucap Adrian dingin.

Flora menatap pria arogan itu. “Ya, ini memang rumah sakit mu. Jadi... selamat datang, tuan.”

Flora pun hendak pergi namun Adrian mencegatnya.

“Ada apa denganmu? Begini caramu menyambut suamimu?”

“Hah? Aku sudah menanyaimu tadi, kamu saja yang membalasnya dingin. Aku masih ada pekerjaan,” ucap Flora.

“Aku datang untuk menjemput mu. Sebentar lagi makan siang, dan ingat peraturan ku!”

“Baik, suamiku. Tapi masih ada dua puluh menit lagi. Tunggulah di sana seraya aku melakukan pekerjaan ku.” Flora melepaskan cengkraman itu. Entah mengapa pria itu sedikit lebih dingin, padahal pagi tadi dia masih baik dan lembut.

“Karena aku sedang berbaik hati, aku akan menunggu mu.” Adrian pun melipat tangannya. Dia mulai mengikuti kemanapun wanita itu pergi.

Adrian menatap Flora yang kini sedang membersihkan luka pasien. Tangannya lihai mengoles beberapa obat, dan mulai menjahit luka itu.

Pasien itu meringis dan memegang tangan Flora. “Pelan-pelan, dok. Aku tidak tahan,” ucap pria itu.

Flora tersenyum ramah dan mengangguk. “Hanya sebentar.”

Pria itu kembali meringis saat Flora mengobati luka lainnya. Dia menahan tangan Flora yang hendak memberi obat merah itu.

“Bisakah kamu berhenti memegang tangan istriku?” tanya Adrian mulai kesal.

“M-maaf pak.” Pria itu memilih menggigit bantal guna meminimalisir rasa sakitnya.

Flora menatap suaminya karena kesal.

“Maaf, pak. Ini akan sedikit sakit, tahan sebentar.” Flora kembali mengobati luka-luka itu.

Sepuluh menit kemudian, pekerjaannya pun selesai. Adrian langsung menarik Flora sampai barang yang dia bawa terjatuh ke lantai.

“Adrian, kamu kenapa?” tanya Flora namun pria itu semakin mengeratkan cengkeramannya.

Mereka pun tiba di mobil. Adrian langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

“Adrian?” Flora mulai takut. Ini bukan kali pertama lagi baginya. Jika Adrian mengendara dengan cepat, maka pria itu sedang marah besar.

Dia takut kejadian dulu terulang lagi.

“Jadi ini alasan mu selalu ingin ke rumah sakit?! Agar bisa mendekati pria lain, bukan?!”

“Apa? Dia pasien dan membutuhkan bantuan ku,” ujar Flora menyanggah.

Rahang pria itu mengeras. Dia melajukan mobilnya semakin cepat dan menyelip beberapa kendaraan.

Flora meremas sabuk pengaman itu dan mulai ketakutan dibuatnya. “Aku belum ingin mati, Adrian. Biarkan aku yang mengemudi! Kamu sudah gila!”

Adrian menghentikan mobilnya. “Oke, kamu yang mengemudi.” ujar Adrian.

Flora menatap suaminya yang aneh itu. “Baiklah, Adrian. Beritahu aku dengan pelan-pelan apa saja kesalahanku agar aku bisa memperbaikinya. Jangan bertindak seperti ini! Bukan hanya orang lain, ini berbahaya untukmu!”

Adrian membuka sabuk pengamannya. Dia keluar lalu membuka pintu dan menatap wanita itu. “Kamu yang mengemudi,” ucap Adrian.

Flora mengerutkan keningnya. Tidak ingin menambah masalah, dia pun langsung menuruti pria itu.

Flora mulai melajukan mobil itu dengan hati-hati.

Adrian menatap tidak percaya wanita itu. Flora tidak pernah mengendarai mobil. Wanita manja yang dia kenali itu akan selalu diperlakukan seperti tuan putri dan tidak dibiarkan mengendarai mobil.

“Apalagi yang tidak ku ketahui tentang mu?” tanya Adrian.

“Mm?” Flora menoleh sekilas. “Memangnya masih ada yang tidak kamu ketahui?”

“Saat di ruangan ku dulu, tepat kejadian di parkiran itu, kamu izin keluar beberapa menit. Apa yang kamu lakukan?” tanya Adrian menginterogasi.

“Mencari Isvara. Oh ya, kita ke kantor mu atau pulang?” ucap Flora.

“Kenapa kamu mencari Isvara?”

“Aku ingin menanyakan sesuatu padanya, Adrian. Kita ke kantor mu, ya? Aku bosan di rumah,” jawab Flora.

“Apa yang ingin kamu tanyakan padanya? Apa kalian bertemu setelahnya? Tapi Isvara tidak datang ke kantor hari itu,” ucap Adrian.

“Mm, aku tidak menemukannya. Jadi aku ke kantin untuk membeli kopi... Bukan kopi, aku membeli roti dengan aroma kopi.” Flora memukul mulutnya sendiri.

Adrian membuang nafas kasar. Dia bersandar dan melipat tangannya.

“Ada apa menanyaiku begitu?” tanya Flora.

“Apa yang terjadi jika seseorang di sayat di bagian ini?” tanya Adrian pada Flora seraya menyentuh lehernya.

“Mm? Kehabisan darah dan akhirnya mati. Kenapa? Jangan sampai kamu melakukan dosa seperti itu! Ingat istrimu menyelamatkan nyawa, dan jangan malah merebut nyawa, Adrian! Itu dosa,” ucap Flora serius.

EPHEMERAL LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang