Ephemeral Love 59

21.1K 1.3K 16
                                    

Adrian menatap tubuh lemah yang terbaring dan tidak berdaya itu.

Dia menggenggam jemarinya dan membendung semua kesedihan dan ketakutan itu. "Flo... Bangun lah, ku mohon." Dia mencium tangan Flora dan menatapnya sendu.

Adrian menyeka airmatanya yang mengalir deras. Dia menenggelamkan kepalanya di ranjang sembari menangis memanggil-manggil nama istrinya.

Tiga hari sudah lamanya, Flora tidak bangun. Kesehatannya menurun setiap saat.

Adrian tidak pernah meninggalkan Flora, dia benar-benar menemani wanita itu setiap saat. Mengajaknya mengobrol dan menyerukan semua penyesalan dan perasaannya.

"Flo, bangun! Sudah cukup tidurnya."

Keluarga mereka berdiri sedikit jauh dari sana. Mereka tidak tega melihat Adrian yang selalu bersedih dan menangis itu.

"Adrian, makan lah lebih dahulu." Entah berapa kali Ghina mengatakannya, namun pria itu tidak peduli sama sekali.

Crish yang berada di sana membuang pandangannya dan menahan semua kesesakannya. Hal yang paling dia sesalkan dalam hidupnya adalah tidak berani jujur pada Flora tentang perasaanya. Mungkin saja Flora akan bahagia dan menerimanya, atau mungkin saja Flora akan lebih dekat padanya karena akhirnya merasakan dicintai lebih dulu.

Dokter Yogi menjelaskan keadaan Flora. Wanita itu tidak mungkin bertahan lebih lama. Jantungnya berdetak dengan lemah, tubuhnya pun ikut melemah.

Felix menahan istrinya yang hendak menghampiri mereka. Dia menggeleng membuat wanita itu berhenti. Ghina langsung memeluk Felix dan menangis.

Sementara Tommy, dia tidak sanggup lagi untuk melakukan apapun. Tuan putrinya yang begitu dia manja itu tidak membalas panggilannya. Hal yang dia pikirkan adalah, menyusul istrinya.

Dia sudah putus harapan. Ketegarannya dan ketabahannya melebur dengan airmata yang tidak kunjung berhenti. Ayah mana yang tidak sedih jika dihadapkan dengan keadaan itu?

Tiga jam berlalu.

Ruangan Flora sudah sepi dan tinggallah Adrian yang menemaninya dan mengawasinya begitu teliti.

Pria itu merapikan anak rambut Flora, kemudian kembali duduk di kursi.

Dia mengambil makan malamnya dan mulai memakannya meski tidak bernafsu. "Flo, sepertinya aku merindukan masakan mu yang tidak enak itu." Dia bergumam sembari mengunyah.

Adrian menatap istrinya. "Aku juga sudah membagi bunga itu menjadi dua, tapi masih belum tumbuh dengan subur. Nanti kita rawat bersama-sama."

"Aku tidak tahu jika ternyata tante Rumy lah yang membunuh ibu. Kami benar-benar baru tahu dan kamu memperjuangkannya seorang diri. Tapi kenapa kamu tidak memberitahu atau meminta bantuan kami? Tante Rumy sendang sekarat saat ini," ujar Adrian. Dia mengelus pipi Flora dan kembali memakan makanannya.

"Maaf ya, aku merokok dan mabuk tadi malam. Itu karena kamu pelit sekali, padahal tinggal manyun. Tapi tenang saja, aku seorang diri di kamar." Dia bergumam.

Dia pun menyelesaikan makannya dan membersihkan dirinya.

Setelah itu, Adrian berbaring di samping Flora. Dia mendekapnya dengan erat. "Kamu curang, Flo! Aku memberimu kesempatan, tapi kamu tidak memberiku waktu. Aku ingin membahagiakan mu dan menebus semua dosaku. Apapun asal jangan berpisah darimu!"

Adrian kembali menangis. Entah sudah sebanyak apa dia menangis, airmatanya tak kunjung habis.

"Flo, bangun! Bangun Flora!" Adrian terisak dan mengeratkan pelukannya.

"Maafkan aku, Flora. Bangunlah kumohon. Bangun sayang, bangun! Bangun Flora ku!"

--o0o--

Keesokan harinya, cuaca begitu mendung.

Adrian mencium kening Flora. "Aku keluar sebentar, ya Flo sayang. Aku akan kembali dalam lima sampai tujuh menit," ujarnya.

Adrian pun menarik pintu dan menutupnya dengan pelan.

"Jaga semua dengan baik! Tidak ada yang boleh masuk jika belum mendapatkan izin ku!" Tegasnya pada pengawal yang berjaga itu.

"Baik, tuan. Tapi tuan Tommy akan tiba sebentar lagi, beliau bisa masuk, kan?" tanya salahsatunya.

Adrian mengangguk. "Hanya ayah, selain itu tidak boleh. Bahkan pengawal atau sekretarisnya."

Adrian pun pergi dari sana.

Dia menaiki lift menuju lantai tertinggi. Lalu dia menaiki tangga menuju taman yang hanya bisa dimasuki lewat ruangannya.

Adrian duduk di salah satu kursi dan mengambil sesuatu dari saku celananya. Dia mengambil gulungan itu dan membakarnya, kemudian mengisap cerutunya.

"Kurasa Flora melarang mu untuk merokok. Ini sudah sejak hampir enam tahun yang lalu, kamu tidak pernah lagi menyentuh benda itu," ucap Crish menghampiri.

Adrian menoleh lalu membuang pandangannya. "Ini sudah kedua kalinya. Kemarin aku merokok juga," balas Adrian.

"Aku minta maaf jika aku lancang mencintai istrimu. Aku--"

"Jangan membahas itu, Crish! Aku tidak punya tenaga untuk menghajar mu saat ini." Adrian menyela.

Crish pun diam. Dia duduk di samping Adrian dan mengisap rokoknya. "Bisa kutanya keadaan Flora? Kamu tidak membiarkan siapapun berkunjung," ujar Crish.

Adrian menoleh sejenak. "Dia suka tidur. Mungkin sedang menguji cintaku," jawab Adrian.

Adrian mematikan cerutunya yang masih tersisa banyak dan menginjak puntungnya sampai mati. "Jangan lupa mengunci pintu, Crish. Kasus itu belum selesai. Aku ingin kembali ke ruangan Flora," ujar Adrian.

"Ya." Crish mengangguk dan menatap Adrian yang buru-buru pergi itu.

Adrian kembali keruangannya. Dia membersihkan diri dan mulutnya, mengganti pakaiannya dan langsung keluar.

Tibalah Adrian di ruangan Flora.

Saat masuk, sebuah pukulan dilayangkan tepat di wajahnya.

"Apa-apaan ini?! Apa maksudmu menyerang ku, sialan?!" Dia menatap Vian dan hendak memukulnya. Beruntung Tommy langsung menahan dirinya.

"Kamu layak mendapatkannya, Adrian! Pria brengsek seperti mu seharusnya tidak pernah masuk dalam kehidupan Flora!"

"Vian, sudahlah!" Tommy mencoba menenangkan Vian.

"Puas kamu sekarang, tuan Adrian yang selalu mendapatkan semuanya?! Bagaimana perasaan mu melihat Flora terbaring lemah di sana, hah?!

Setelah melukai perasaannya berulangkali, seharusnya kamu yang terbaring di sana. Bukan Flora! Bukan wanita yang kucintai itu!" Suara Vian meninggi dan penuh penekanan.

Tommy nampak terkejut dengan penuturannya. Bagi Tommy, Vian adalah seorang kakak untuk putrinya.

Adrian memejamkan matanya dan menahan emosinya yang nyaris meledak. Dia menyesal, benar-benar menyesal. Bisakah dunia memberinya ketenangan dan membiarkan Adrian membayar dosanya?

"Kamu brengsek, Adrian!" Vian langsung pergi dengan jejak kemarahannya.

EPHEMERAL LOVE Where stories live. Discover now