Ephemeral Love 50

22.5K 1.4K 1
                                    

Flora menatap pria itu dengan serius.

"Ku gunakan kedekatan ku dengan Isvara agar kamu terluka dan memilih berhenti mengejar ku. Tapi saat kamu mulai berhenti, itu justru membuatku merasa kehilangan. Aku tidak tahu kenapa aku menginginkan mu dan mulai cemburu saat Crish beropini jika kamu mempunyai pria lain." Adrian menatap Flora yang semakin terkejut. Matanya melebar mendengar penuturannya.

"Kamu sudah gila, Adrian." Flora tidak percaya.

"Semua bermula dari saat itu. Saat aku memilih menyelematkan Isvara dibandingkan dirimu."

Senyuman Flora memudar saat melihat pemandangan itu. Baru saja dia memasuki ruangan tunangannya, pria itu justru duduk berdekatan dengan wanita lain.

"Hay Flo. Tumben sekali kamu kesiangan," ujar Crish menyambut. Pria itu tersenyum manis seperti biasanya. Hanya saja dia membatasi diri karena wanita itu dan sahabatnya sudah terikat dalam hubungan yang serius.

Flora menatap Adrian yang menoleh sekilas. Dia sibuk dengan pekerjaannya bersama Isvara.

"Adrian, kenapa kamu tidak datang? Hari ini pemeriksaan ku," tanya Flora murung. Dia tidak ingin mendekat pada ketiga orang itu.

Adrian diam dan mengacuhkannya.

"Kami sedikit sibuk. Apa yang terjadi? Kamu mengalami peningkatan?" tanya Crish.

Flora menatap Adrian yang acuh. "Dokter Yogi bilang aku mengalami penurunan. Sesuatu membuatku stress dan tertekan." Flora berucap.

Adrian menoleh. "Pulang saja dan istirahat," katanya.

"Kamu tidak ingin tahu apa penyebabnya?" tanya Flora.

"Kamu sendiri yang mencari penyakit mu. Lagipula aku tidak peduli," ketus Adrian. Dia membalikkan kertas yang dia pegang.

Flora menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Tapi bukan itu sakit yang sebenarnya, diacuhkan oleh Adrian begitu menyayat hatinya.

Disaat yang bersamaan, Isvara memijat pelipisnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Crish.

Adrian menoleh pada Isvara yang nampak pucat. "Seharusnya kamu istirahat dulu, Vara. Meskipun kamu tengah merawat ibumu, perhatian juga kesehatan mu."

Isvara tidak menjawab. Dia langsung kehilangan kesadarannya.

Adrian dan Crish khawatir. Mereka mencoba menolong wanita itu. Adrian pun langsung menggendong tubuh Isvara hendak membawanya ke rumah sakit.

Mereka melalui Flora yang terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar kecewa. Dia menahan sakit di hatinya.

Setelah mengantar Isvara ke rumah sakit, Adrian mengemudi dengan pelan di sore itu. Dia membuka atap mobilnya untuk menikmati angin yang berhembus kencang.

Matanya menoleh pada bangunan putih sekitar tiga ratus meter lagi. Entah mengapa dia tiba-tiba ingin bersantai di pinggir danau.

Adrian memarkirkan mobilnya dan berjalan santai di taman itu, menuju danau.

Setelah melangkah beberapa meter, dia melihat Flora yang merenung di kursi. Sosok yang menjadi tunangannya itu menatap kosong ke depan dengan wajah yang dibanjiri oleh airmata.

Adrian ingat, pertemuan pertama mereka sebenarnya di taman itu. Jauh sebelum dia tidak sengaja melihatnya pingsan di jalan dan membawanya ke rumah sakit, atau pertemuan saat orangtua mereka mengobrol. Adrian pernah melihat Flora menyulam di sana.

"Seharusnya aku tidak datang ke sini," gumamnya.

Pria itu menatap punggung Flora yang mulai bergetar. Wanita itu menangis dan menutupi wajahnya.

Ini bukan kali pertama dia melihat Flora menangis karena perbuatannya. Sudah dua kali dia menunda pernikahan mereka. Adrian bingung kenapa Flora masih bertahan meski dia kasar padanya.

"Jantungku sakit sekali, ibu. Aku tidak mau hidup lagi, aku ingin bersamamu saja. Kenapa kamu meninggalkan ku, bu? Aku membenci dunia ini!" Isak Flora. Suaranya bergetar penuh luka, dadanya terasa begitu sesak.

Adrian diam. Dia masih di sana dan mendengar isakan pilu itu.

"Aku menyerah ya, Tuhan. Aku menyerah. Ambil saja nyawaku, aku menyerah!"

Hari berganti menjadi malam yang dingin.

Flora menenangkan dirinya sendiri. Setelah merasa cukup, dia memukul pelan dadanya yang masih ngilu.

"Flo... putri ayah dan ibu yang baik, jangan menangis lagi. Kamu adalah wanita kuat dan hebat. Kamu sudah melewati perkiraan umur mu dan semua baik-baik saja sampai saat ini. Bertahan untuk dirimu sendiri saja." Dia memeluk tubuhnya.

Flora pun berdiri.

"Andai ada Vian di sini, aku tidak harus memeluk tubuhku sendiri. Kapan dia pulang?" Dia bergumam.

Keesokan harinya Adrian mengunjungi kediaman Tommy. Dia mengobrol dengan Tommy dan menjelaskan kejadian kemarin.

"Ini sulit bagi putriku. Apalagi penundaan berulang ini, nak. Berbicaralah padanya, dia mengurung diri sejak pagi tadi," ucap Tommy.

"Maaf, om." Adrian mengangguk.

Adrian bergegas menuju kamar Flora. Dia mengetuk pintu dan membukanya pelan.

Adrian menatap Flora yang tertidur dengan selang infus yang terpasang pada tangan kirinya.

Adrian menatap kamar tidur itu. Matanya tertuju pada satu kotak yang terletak di sofa.

Pria itu melihat isi kotak tersebut. Sampah, itu yang tertulis di sana. Barang-barang di dalam kotak itu merupakan peralatan menyulamnya, buku-buku tentang medis, dan foto-foto Flora saat kuliah dengan jubah prakteknya.

Adrian mengerutkan keningnya saat melihat vas foto itu ada di sana. Foto dirinya dan Flora yang berjalan di danau, seseorang diam-diam mengambil foto mereka.

Flora pernah memamerkan foto itu dan selalu menaruhnya di nakas. Dia juga membuat duplikat dan meletakkannya di meja kerja Adrian, meski akhirnya Adrian membuangnya.

Dan hari itu selalu saja membayangi pikiran Adrian. Diam-diam dia mengirimkan pengawal untuk mengawasi wanita itu. Dia takut Flora bunuh diri karena ulahnya.

EPHEMERAL LOVE Where stories live. Discover now