Menu 1 : Namanya...

2.1K 55 13
                                    

Happy reading :)

Orang bilang masa SMA adalah masa paling tidak terlupakan. Harus banyak mengumpulkan kenangan sebelum akhirnya saling melepaskan untuk menghadapi dunia perkuliahan. Cewek bernama Gita Rahadian termasuk cewek yang mengatut keras asas tersebut, untuknya, mendekam di kelas terlalu lama hanya akan menyita waktunya, lebih baik nongkrong di kantin sambil melahap siomay kesukaannya, melupakan semua ocehan guru sejarah tentang para pahlawan yang tidak akan pernah bangkit dari kuburan.

"Gak masuk kelas, Neng?" tanya Bang Ucup yang notabene merupakan pemilik stand somay langganan Gita. Yang ditanya menggelengkan kepala sambil memasukkan potongan somay kedalam mulutnya.

"Eungga buang, maes ueh," Jawab Gita dengan mulut penuh somay, Bang Ucup hanya bisa melengo liat kelakuan anak gadis yang katanya merupakan anak dari donatur tetap di SMA Surya. "uhuk-uhuk," Gita menepuk dadanya, berharap somay yang dia lahap cepat turun ke perutnya.

"Kualat lo sama guru, makanya keselek, kan?" ejek Bang Ucup sambil menyerahkan sebotol air mineral kearah Gita. Tanpa aba-aba, cewek itu langsung menengaknya hingga tandas.

Gita menimang-nimang botol kosong yang ada di tangannya sambil melirik sadis Bang Udin. Dilirik sedemikian rupa, Bang Udin langsung sadar ada sinyal bahaya di dekatnya. "etdah gitu aja marah, piss neng." Rayu Bang Udin sambil cengengesan, jari telunjuk dan jari tengahnya dia arahkan ke Gita sebagai simbol perdamaian.

Bibir Gita membentuk senyuman melihat tingkah Bang Udin yang merupakan keturunan betawi asli, ntah harta warisan Bang Udin habis kemana, sehingga membuat pria berumur kepala tiga itu mau bersusah payah menyambung hidup dengan berdagang somay. "lagian lo bang, basa basi mulu ke gue tanya masuk kelas apa ngga, nih kuping ampe budeg kali dengernye," sembur Gita menirukan logat betawi Bang Udin yang khas.

"Lah pan lo bisa ngomong betawi," Tepukan sok akrab Bang Udin mampir ke punggung Gita tanpa permisi. Andai penjual somay tersebut tau silsilah keluarga Rahadian, mungkin seujung kuku pun dia tidak akan berani menyentuh Gita.

"Tiga taon kenal Bang Udin, yekali kaga bisa."

Mereka berdua tertawa lepas tanpa ada intrupsi dari pihak manapun. Saling melemparkan guyonan tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Rasanya angin yang berhembus enggan mengganggu kebersamaan kedua insan yang berbeda usia tersebut. Bahkan seorang lelaki yang hendak memasuki kantin menghentikan langkahnya untuk sekedar menikmati sebuah tawa yang menurutnya tulus tanpa direkayasa.

@@@

Masuk paling telat, pulang paling cepat. Makulmin saja, namanya juga anak SMA. Guru belum selesai menerangkan pelajaran sementara sebagian dari mereka sudah menantikan bel pulang. Tatapan mata menuju papan sementara tangan sibuk memeriksa notifikasi sosial media dari ponsel yang tersembunyi di kolong meja, mementingkan dunia maya dan mengabaikan dunia nyata.

Hanya saja hal tersebut tidak berlaku untuk semua murid berseragam putih abu-abu, di antara mereka masih ada beberapa yang memilih mencorat-coret bagian belakang buku untuk menghilangkan kantuk. Masuk kelas pagi perutnya lapar, masuk kelas terakhir matanya mengantuk. Begitulah Gita, banyak alasan untuk sekedar masuk ke dalam kelas. Sebenarnya dia bisa saja bolos lagi, mengabaikan ocehan guru yang berkali-kali mengingatkan dirinya bahwa UN sebentar lagi. Gita tidak tuli, hanya saja semakin ditekan dia akan semakin menentang, hidupnya sudah terbiasa bebas tanpa peraturan dan larangan. Salahkan saja orang tuanya, yang sibuk mencari nafkah tanpa pernah meluangkan waktu untuk sekedar saling sapa.

"Pulang sekolah mau kemana lo?"

Gita hanya mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Kiwi yang berstatus sebagai teman sebangku sekaligus sahabat baiknya. "Bingung, tapi kayaknya gue mau pulang aja," Sahut Gita lemah.

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang