Menu 28 : Iya

456 25 10
                                    

Bayangan tentang eratnya pelukan Alfa pada seorang cewek terus berputar seperti kaset kusut di dalam benaknya. Hingga langit berubah menjadi lautan hitam, Gita tetap bergeming di tempatnya sejak pulang sekolah, duduk di pinggir kolam renang dengan dua kakinya yang ia biarkan masuk ke dalam air, bahkan ia tidak mau repot-repot untuk mengganti seragamnya terlebih dulu, sesampainya di rumah, hanya kolam renang yang menjadi tujuannya, tempat dirinya berpikir tentang banyak hal tanpa gangguan.

Beberapa pelayan yang bekerja di rumah Gita berkali-kali sengaja melewati pintu yang terhubung dengan kolam renang, tidak jarang mereka saling sikut-sikutan tentang siapa yang berani menyuruh majikan kecilnya masuk ke dalam, sekedar memberi minum dan makanan ringan pun mereka tidak berani melakukan. Jika Gita sudah duduk termenung di pinggir kolam, seperti ada aturan kasat mata yang menyatakan kalau ia ingin sendirian tanpa intrupsi dari luar.

Sudah tidak terhitung dengan jari berapa kali Gita mengacak rambutnya dengan frustasi, hampir setengah rambutnya sudah tidak lagi terikat dengan sempurna, ia berharap dengan mengacak rambutnya otaknya bisa lebih tenang, tidak lagi memutar kejadian yang ingin Gita lupakan.

Bilang aja udah ada cewek lain bukan karena cape peduli sendirian, batin Gita geram. Nyatanya, Alfa memang seperti kebanyakan kaum adam, yang selalu menciptakan seribu alasan padahal alasan yang sebenarnya sangat menyakitkan.

Gita merebahkan tubuhnya ke atas lantai, membiarkan dinginnya lantai memeluk tubuhnya yang terasa lelah. Niat hati mau melihat indahnya langit malam yang tertangkap indera penglihatan Gita justru tatapan murka dari orang yang sedari tadi mendominasi pikirannya. Gita menghela nafas lelah, satu tangannya terangkat untuk menutupi matanya, bertingkah seolah ia tidak melihat siapa-siapa.

Samar, Gita mendengar langkah kaki Alfa yang berjalan ke samping tubuhnya, ia dapat merasakan kakinya yang sedari tadi berada di dalam kolam di angkat Alfa ke permukaan, lalu ada kehangatan yang berasal dari handuk yang Alfa gunakan untuk membalut kakinya yang Gita yakin sudah mengeriput semua akibat terlalu lama di dalam air.

"Bisa ngga sih lo sekali aja ngga bikin orang khawatir?" Alfa menyentak tangan Gita yang digunakan untuk menutupi mata. Kini cowok itu berjongkok di sisi kepala Gita, gurat kemarahan jelas tercetak di wajah Alfa.

Yang Gita lakukan justru memejamkan mata tanpa membuka mulutnya untuk menjawab ucapan Alfa. Kepalanya sudah terlalu pusing, Gita tidak ingin membuat kepalanya meledak dengan meladeni ucapan Alfa.

"Untung tadi Mang Ujang telfon gue, mau sampai kapan lo di sini?"

Sampai bayangan lo meluk cewek sialan tadi ilang dari pikiran gue, Gita menjawab dalam hati.

"Pernah mikir ngga lo kalo banyak orang yang khawatir dan peduli sama lo? Pernah mikir ngga lo kalo orang-orang yang kerja di sini cemas ngeliat keadaan lo? Jangan selalu merasa jadi objek yang paling menderita, lihat sekitar lo baik-baik, mereka semua peduli sama lo."

"Kalo lo ke sini cuma mau ngomel mending pulang aja, bikin kepala gue makin pusing." Usir Gita dengan nada serak. Sudah berapa jam tenggorokannya tidak terkena air?

Alfa tidak mengubris ucapan Gita, tangannya justru dengan cepat memeriksa kening Gita dan merasakan tubuh panas cewek itu di telapak tangannya. "Pulang, bukannya lo ngga peduli sama gue?" Gita menepis tangan Alfa dari keningnya.

"Jangan buang-buang waktu," Gita merubah posisinya menjadi duduk kembali, "Makasih udah ingetin gue tentang banyaknya orang yang peduli sama gue. Besok-besok gue bakal suruh Mang Ujang supaya ngga ngerepotin lo lagi."

Melihat tidak ada tanda-tanda Alfa akan pulang, Gita segera bangkit dari duduk. Pandangnya berkunang namun dengan cepat Gita menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pusingnya. "Pulang! Gue mau masuk ke kamar, lo ngga perlu pura-pura peduli lagi," usir Gita sekali lagi.

Genap enam langkah kaki Gita meninggalkan Alfa, tiba-tiba pandangan Gita menghitam dan kesadarannya perlahan menghilang seiring tubuhnya yang membentur lantai.

@@@

Ada yang mati-matian menahan senyumanya tidak mengembang kala tanganya sibuk membalik handuk yang digunakan untuk mengompres di kening Gita. Bi Sum adalah orang yang bertanggung jawab kenapa Alfa bisa sebahagia sekarang, atau lebih tepatnya gila? Karena sudah hampir setengah jam cowok itu senyam senyum sambil menatap Gita yang tengah terlelap dalam tidurnya.

"Dari semalem mbak Gita ngga tidur, nonton drama korea sampe pagi di ruang tengah tapi bibi liatin juga matanya ngga fokus ke tv. Tadi pagi juga bibi larang sekolah tapi mbak Gitanya ngga mau dengerin. Lagi marahan ya mas? Soalnya bibi perhatiin habis dianterin mas Alfa pulang kemarin, mukanya mbak Gita langsung ditekuk gitu. Disuruh makan ngga mau mulu katanya masih kenyang."

Alfa hanya menggeleng seraya mengambil baskom berisi handuk kecil dan es batu yang disodorkan bibi.

"Terus tadi pas pulang sekolah juga tasnya langsung dibanting, habis buka sepatu langsung duduk di pinggir kolam renang. Mbak Gita emang suka banget duduk lama di situ, tapi ngga pernah selama hari ini, makanya kita semua khawatir. Bukannya takut dipecat atau apa kalo nyuruh mba Gita masuk ke dalam rumah, kita mah tau diri mas kalo omongan dari kita-kita ngga bakal didengerin, makanya tadi bi Sum suruh Mang Ujang telpon mas Alfa aja."

Tangan Alfa bergerak merapihkan rambut Gita. Lama ia tatap wajah Gita yang terlelap dengan mata hitamnya, ini bukan pertama kalinya ia melihat Gita tertidur, tapi pemandang ini akan terus menjadi pemandangan maha asyik untuk seorang Alfa.

Kalau dipikir-pikir, Gita sangat jauh berbeda dengan Clara, pun cara Alfa memperlakukan Gita dengan Clara sangat berbeda. Dengan Gita, Alfa tidak pernah berusaha menjadi baik, tidak pernah bisa menahan emosi, dan tidak pernah mau mengalah. Ya, dengan Gita, Alfa selalu menjadi dirinya sendiri tanpa ia sadari.

Anehnya, Alfa tidak pernah memperlakukan Gita sebaik Clara. Ia tidak pernah bisa mengontrol emosinya dengan benar jika berhadapan dengan Gita. Alfa selalu bisa melarang ini itu pada Gita tanpa pernah berpikir cewek itu akan menuruti perintahnya atau tidak, Alfa selalu marah jika Gita melakukan hal yang membuatnya khawatir. Tidak ada yang Alfa pendam, bersama Gita, ia akan mengungkapkan apapun yang ia rasa.

@@@

Pemandangan pertama kala Gita membuka mata adalah sosok Alfa yang sedang duduk di sisi ranjangnya sambil menyesap minuman dari cangkir. Gita menerjapkan matanya sekali lagi, takut efek benturan sebelum dirinya pingsan membuatnya berimajinasi tentang sosok Alfa yang menunggu dirinya sampai terbangun.

"Udah ngga demam," ada tangan hangat yang menyentuh kening Gita selama beberapa detik, lantas kehangatan itu menghilang kala tangan itu menjauh dari keningnya. "Lo mau makan?"

Menerjap tak ampuh, kini Gita mengucek matanya agar segera memperoleh kesadaran. Tapi tetap sosok Alfa juga yang tertangkap indera penglihatannya. "Pulang sana," usir Gita tanpa menjawab tawaran Alfa.

"Iya," tanpa disangka, Alfa menuruti kemauan Gita. Lantas cowok itu bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan kamar Gita.

"Nyebelin!!!!" Gita menatap punggung Alfa yang menghilang di balik pintu dengan kesal. Padahal ia ingin Alfa tinggal, kenapa cowok itu tidak juga paham? Kan tidak mungkin Gita berkata terang-terangan.

Peka sedikit saja, ngga bisa?

@@@

Jika berkenan boleh cek work sebelah xoxo finding love sudah dipublish xD

Btw btw, kalo saya punya gebetan macam Alfa serius mending nyerah daripada sakit jiwa *plak

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang