Menu 2 : Secarik Kertas Untuk Gita

897 44 9
                                    

Seingat Gita matahari masih terbit dari timur pagi tadi, tapi kenapa ada kedua orang tuanya duduk di meja makan hari ini? Seumur hidup Gita, mereka hanya makan bersama jika salah satu anggota keluarga ada yang merayakan ulang tahun, itupun sudah tiga tahun yang berlalu, ritual tiup lilin seperti itu sudah tidak lagi dijalankan keluarga Gita, orang tuanya menganggap kado mewah dari mereka sudah membayar lunas kehadiran mereka.

"Tumben," Komentar Gita saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir. "Saya ngga ulang tahun hari ini," Tambah Gita yang kini sudah sampai meja makan, menarik kursi untuk duduk, lalu menatap orang tuanya dengan tampang bingung.

"Apa salah jika saya makan di rumah sendiri?" Tanya ayahnya yang sedang mengoles selai keatas roti. "Pagi sekali kamu berangkat," Sindir sang ayah kepada anak semata wayangnya. Jam mahal di tangan kirinya sudah menunjukkan angka 7 lewat 5.

"Oh, bosen dengan makanan di hotel?" Tanya Gita tanpa rasa berdosa, satu tangannya meraih susu coklat yang tersaji di hadapannya.

Mata sang ibu mendelik kepada anaknya, "Gita! Sopan sedikit sama ayahmu bisa?"

"Ups," Punggung tangan Gita mengelap sisa susu coklat yang tertinggal di bibirnya, gelas kosongnya ditaruh di atas meja dengan cukup keras sehingga menimbulkan bunyi yang tidak enak untuk didengar. "Jika seorang pria bisa dikatakan seorang ayah karena sering mentransfer uang, orang yang bekerja sebagai taller bank juga bisa saya panggil ayah. Apa uang yang anda berikan harus saya balas dengan kesopanan?"

"Gita Rahadian!"

Gita membuang mukanya kesamping, mencegah airmatanya turun di depan orang tuanya. Peparunya terasa sesak, rasanya sebentar lagi cewek itu akan sekarat. "Maaf," Ujar Gita dengan suara pelan, "Maaf telah mengganggu kenyamanan kalian saat sarapan. Saya berangkat."

Tanpa cium tangan, tanpa cium pipi kiri dan kanan, cewek itu berangkat sekolah dengan rasa sesak. Meninggalkan orang tuanya melanjutkan sarapan dengan nyaman. Gambaran sebuah keluarga dalam korean drama itu hanya fiksi belaka, Gita tidak pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga. Jangankan untuk canda dan tawa bersama orang tuanya, berhadapan selama satu jam tanpa pertengkaran rasanya sulit keluarga Rahadian wujudkan.

@@@

Unit Kesehatan Sekolah, merupakan surga bagi siswa dan siswi yang senang sekolah tapi benci belajar. Tempat bersembunyi paling aman tanpa perlu mendapat poin sebagai hukuman. Tinggal berwajah pucat, penjaga UKS akan sukarela menjamu kalian dengan segalas teh hangat dan kasur yang cukup empuk untuk tiduran.

Gita menjadi salah satu bagian dari penghuni bilik UKS, berbekal masker yang diambil paksa dari teman sekelasnya, cewek itu berbaring dengan sebagaian wajah tertutup masker. Dia paling benci dengan bau obat, tapi lebih benci lagi jika hari ini harus duduk manis di dalam kelas mendengarkan guru mengajar bahasa Indonesia. Hidupnya sudah hiperbola, tidak perlu ditambah majas hiperbola.

Suara tirai dibuka membuat Gita membenarkan posisi tubuhnya, ponsel yang sedari dia mainkan disembunyikan di balik bantalnya. Satu sentil mendarat di dahinya, mulutnya mengaduh tapi sedetik kemudian terkekeh melihat wajah sebal si penjenguk.

"Bikin panik aja, kirain sakit beneran," Gerutu Dirga dengan nafas tersengal. Pasalnya, cowok itu sudah mencari Gita ke semua tempat di sekolah saat Kiwi bilang Gita tidak masuk kelas dari jam pertama. "Kemarin kenapa telfon, aku lagi latihan."

"Emang ngga boleh telfon?" Tanya Gita usil, hilang sudah kecurigaannya pada Dirga saat melihat wajah tampan pacarnya ada di hadapannya.

"Ya boleh," Jawab Dirga sambil memperhatikan wajah Gita yang tertutup masker, sudah berapa lama dia tidak bertemu pacarnya? Mata pacarnya sudah mirip panda daripada manusia.

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang