Menu 11 : Situ Siapanya?

639 46 8
                                    

Dari semua hal yang paling Alfa benci di dunia, menghadapi seorang cewek menangis menempati posisi pertama, ia tidak mempunyai bakat mengeluarkan kata-kata menenangkan. Maka, ketika Gita memeluknya semakin erat dan menangis semakin kencang, yang ia lakukan hanya mengendarai motor dengan tenang. Ia ingin sekali berhenti, tapi apa yang harus ia lakukan nanti?

Entah sudah berapa lama Gita menangis di pundaknya, yang jelas Alfa dapat merasakan jaketnya yang basah akibat airmata. Mengingat Gita tidak mau pulang, ia memilih jalan lebih jauh untuk membunuh waktu, terus mengendai kendaraan roda dua seolah tidak ada apapun yang terjadi. Sampai dirasakan nafas Gita yang mulai teratur dan kepala cewek itu yang sedikit merosot dari pundaknya, barulah ia menyadari kalau orang yang diboncengnya tertidur.

Alfa menurunkan kecepatan motornya, hal yang tidak pernah ia lakukan jika jalan sedang lenggang. Melihat spidometernya berada di angka 20, cowok itu mendengus. Motornya sudah melaju pelan kenapa ia masih merasa takut? Ya, takut jika orang yang diboncengnya jatuh membentur  aspal.

"Nyusahin banget!" dalam hati cowok itu mengumpat, tapi gerak tubuhnya berkhianat. Ia melepaskan satu tangannya dari stang motor untuk memegangi tangan Gita yang melingkar di perutnya.

Motor yang dikendarai Alfa memasuki kompleks perumahan Gita sepuluh menit kemudian, persetan dengan permintaan cewek itu yang tidak mau pulang ke rumah, ia tidak sanggup lagi menahan jatungnya yang berdetak frustasi sementara cewek itu tertidur pulas di pudaknya. Alfa mengklakson sekali, satpam rumah Gita langsung bergegas membuka pintu pagar. Beberapa pekerja yang sedang membersihkan taman terpogoh-pogoh menghampiri ketika melihat majikan kecilnya pulang.

"Mbak Gita tidur, Mas?" pertanyaan tidak penting terlontar dari salah satu pekerja, Alfa menghela nafas pendek dan menatap pekerja itu dengan tatapan jengah. Ia menaruh helmnya di spion, dan memberi kode pada pekerja untuk melepaskan helm dari kepala Gita.

"Biar saya saja Mas yang gendong ke dalam," lagi, pekerja itu mengeluarkan suara meskipun pertanyaan pertamanya tidak digubris oleh Alfa.

"Ngga usah, saya aja. Lepasin tasnya Gita dan tunjukkin jalan dimana kamarnya," Alfa memberi perintah sambil melepaskan tautan tangan Gita yang melingkari perutnya dengan perlahan, membuat gerakkan seminimal mungkin agar cewek itu tidak terbangun.

Saat Gita menggeliat, Alfa menahan nafasnya, peparunya kembali normal ketika Gita kembali terlelap. Tanpa disuruh, pekerja tadi membantu menahan Gita selagi Alfa turun dari motornya, berjalan duluan untuk membukakan pintu ketika Gita sudah berada dalam gendongan Alfa.

Tanpa merasa keberatan, Alfa menaiki anak tangga menuju kamar Gita, tubuh cewek itu terasa sangat ringan seperti tidak ada beban. Nuansa biru putih langsung mendominasi saat ia memasuki kamar Gita, ada rak buku berbentuk cangkir terbalik menempel di sudut dinding, kamar yang cukup manis meskipun tidak terkesan feminim.

Setelah meletakkan Gita, ia mendudukan dirinya di pinggir kasur, memanjakan indera penglihatannya dengan memperhatikan Gita yang sedang tertidur. Alfa menarik nafas panjang, entah mengapa perasaannya tidak juga tenang. Kejadian seperti ini mungkin saja terulang, Gita yang terlelap ketika mereka dalam perjalanan pulang.

Alfa mengeluarkan ponselnya, menempelkan di telinga setelah mencari kontak yang dihubunginya. "Gue butuh bantuan," katanya ketika telfon diangkat.

@@@

Paginya, Gita bangun dengan perasaan lebih baik. Ia mengeliat sebelum mendudukkan dirinya dan menyender pada punggung kasur. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, ia mencoba mengingat kejadian sebelum dirinya jatuh tertidur. "Ah, sial!" umpatnya seraya bangkit dari kasur dan bergegas masuk kamar mandi.

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang