Menu 13 : Cowok Bermata Coklat

561 44 7
                                    

Alhamdulillah, masih bisa konsisten nulis seminggu sekali. Btw gue ngetik bagian akhir part ini sambil senyam senyum hahahaha 


"Belum berangkat, Git?"

Gita sedang mengikat tali sepatu di teras rumah ketika ayahnya bertanya, tanpa mendongak, ia menggelengkan kepalanya, lalu memberikan senyum tipis ketika telah selesai mengikat sepatunya. Sudah dua minggu ini Gita menggantungkan nasibnya pada keberuntungan setiap pagi. Nyatanya, cowok yang berjanji akan mengantar jemputnya ke sekolah, menghilang entah kemana. Tidak ada kabar, dan Gita tidak berusaha mencari keberadaannya. Jika Gilang atau Kiwi yang tiba-tiba menjemputnya, ia hanya akan naik dan tidak akan bertanya kenapa salah satu dari mereka datang menjemputnya. Dan kalau sedang apes, ia akan meminta tolong satpam kompleks untuk mengantarnya ke sekolah.

"Ayah ngga kerja?" tanya Gita yang merasa heran melihat ayahnya memakai baju rumah. Di tangan pria itu ada sebuah Ipad yang digunakan untuk melihat portal berita online.

"Pengen banget saya kerja?" goda sang ayah mengikuti logat kekinian seperti anak jaman sekarang.

Gita tersenyum geli mendengar candaan ayahnya. "Ngga sih, cuma aneh aja liat ayah jam segini ada di rumah. Takut tiba-tiba hujan deres kalo ayah bolos kerja."

"Saya cuti kok, paling ngecek beberapa berkas di rumah."

"Ngga pegang kerjaan sehari aja, alergi ya?" Gita menggelengkan kepalanya heran. Apa gunanya mengambil cuti kalau tidak digunakan untuk istirahat full di rumah?

"Gita," Rahadian hendak memberi penjelasan, tapi Gita sudah terlebih dahulu menutup telinganya sebagai tanda penolakan. Ia tau anaknya kecewa, bahkan janjinya untuk pulang sebelum maghrib menjelang tidak bisa ditepatinya. Sebisa mungkin Rahadian mencoba, tapi banyaknya pekerjaan dan macetnya ibukota membuatnya menjadi pecundang yang mengingkari janji dengan anaknya.

"Saya ngerti kok," Bibir Gita membentuk garis lengkung, sedangkan matanya memancarkan sinar kesedihan. Gita menghela nafas, tidak ada tanda-tanda akan ada yang menjemputnya pagi ini. "Saya antar?" tawar Rahadian ketika melihat anaknya mulai gelisah.

Gita menatap ayahnya dengan tatapan menimbang, lalu menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Sayang kalau ditolak, kapan lagi ada keajaiban seperti ini? Biarlah ia dianggap seperti anak TK, memang begitu kenyataannya. Rasa senangnya setinggi angksa ketika bisa semobil dengan ayahnya menuju sekolah.

"Saya kayak flashback, dulu senyum kamu persis kayak gini kalau saya antar ke TK." Kata Rahadian ketika mobil yang dikendarainya keluar gerbang kompleks. "Apalagi kalau mampir dulu beli mainan, pasti saya diciumin terus di jalan."

"Iyakah?" tanya Gita tidak percaya, ingatannya tentang masa kanak-kanak tidak terlalu melekat dalam otaknya. Justru kenangan diantar bibi ke sekolah yang terpatri dalam otaknya.

"Hmm," Rahadian menoleh ke Gita. "Pasti banyak cowok yang nyesel kalo kehilangan senyum anak ayah."

Anak ayah?

Senyum Gita mengembang lebih lebar dari sebelumnya. Rahadian sendiri sudah menggerakkan tangan untuk mengacak gemas rambut anaknya. Ia hampir tidak percaya anaknya sebentar lagi akan menanggalkan seragam SMA, bahkan rencana akan memasukkan Gita ke universitas mana, belum terbersit dalam pikirannya.

Memang benar, banyak hal yang harus dikorbankan untuk mencapai keberhasilan. Lihatlah Rahadian, pria yang menikah muda itu kehilangan moment berharga bersama anaknya. Selama ini, otaknya hanya berisi bagaimana membuat perusahaannya tetap kuat bersaing di Asia. Tidak ada sedikitpun celah untuk memikirkan bagaimana masa depan anaknya, bahkan untuk mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ayahnya saja rasanya tidak pantas. Ia terlalu banyak merasa bersalah pada anaknya.

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang