EXTRA PART 1

537 24 10
                                    

"Kenapa?"

Adalah pertanyaan Alfa ketika mendapati Gita menatapnya tanpa jeda, seolah Alfa makhluk astral yang sangat mustahil berada di depan Gita.

"Kenapa Gita? Kangen? Mau peluk lagi?" Tanya Alfa lagi karena tidak juga mendengar jawaban yang meluncur dari bibir Gita. Cewek yang kini terlihat makin cantik di hadapan Alfa masih terus menatap cowok itu, membuat Alfa sedikit resah dibuatnya.

"Gue cium ya Git kalo masih ngga mau jawab juga," ancam Alfa hingga Gita menyemburkan tawa renyah.

"Seneng aja denger lo banyak omong," jawab Gita jujur seraya menyesap green tea latte dari cangkirnya. "Masih ngga percaya," tambah Gita setelah menaruh kembali cangkirnya di atas meja.

"Waktu merubah banyak hal, Git." Kata Alfa diplomatis.

Gita mendengus pelan, sudut bibirnya tertarik hingga menciptakan segaris senyum tipis, "Termasuk perasaan?" Tanya Gita skeptis.

Alfa tersendak cairan hitam yang baru saja melewati tenggorokannya. Salah lagi!  "Lo masih marah?"

"Lo ngga menjawab pertanyaan gue," kini Gita melipat kedua tangannya di atas meja, matanya menatap lurus ke mata Alfa yang sepekat langit malam. "Apa waktu bisa merubah perasaan?" Gita kembali mengulang pertanyannya. "Kenapa kita berani banget main-main sama jarak? Gimana kalo perasaan gue ke lo berubah atau sebaliknya?"

Alfa mendesah pelan mendengar serentetan pertanyaan dari Gita. "Jangan bertele-tele, apa yang bikin lo resah?" Tanya Alfa dingin.

Mulut Gita bungkam, enggan menjelaskan. Terlalu banyak spekulasi yang berputar otaknya. Terlebih lagi, sebenarnya ia resah akan lamaran Alfa. Entah candaan atau bukan, tetap saja Gita tidak terima jika Rahadian menerima lamaran Alfa begitu saja tanpa persetujuan darinya. Kenapa sang ayah tidak memikirkan perasaannya?

Seperti yang Gita bilang tadi, bagaimana jika waktu merubah perasaannya?

Meskipun pada kenyataannya perasaannya tidak berubah. Secuilpun tidak.

"Gita Rahadian," panggil Alfa pelan ketika tidak juga mendapat atensi dari lawan bicarannya. "Lo meragukan lamaran gue atau perasaan gue ke Clara?"

Gita mengigit pipi dalamnya, pandangannya ia lempar ke mana saja agar tidak bersitatap dengan pandangan tajam Alfa. "Kapan lo ketemu ayah?"

"Dua tahun yang lalu." Jawab Alfa singkat. Gita menunggu beberapa saat tapi tidak ada kalimat lanjutan yang meluncur dari bibir Alfa.

"Butuh dua tahun buat ngeyakinin diri kalo lo ngga suka Clara lagi?"

"Lebih tepatnya gue butuh waktu buat terlihat layak di depan ayah lo."

Lagi, Gita mendengus pelan. Menurutnya ucapan Alfa hanyalah alibi semata. Alfa hanya butuh waktu meyakini diri sendiri apakah Gita memang layak menggantikan sosok Clara di kehidupan cowok itu.

"Tanya! Jangan berspekulasi sendiri!" Rahang Alfa mengeras ketika Gita kembali terdiam. Pada akhirnya emosi mendominasi Alfa ketika menghadapi kelakuan Gita yang tidak pernah berubah. Selalu asyik berspekulasi tanpa bertanya langsung ke sumber informasi.

"Lo tau gue orangnya susah mengungkapkan perasaan secara verbal. Dengan adanya gue di sini, ngga bisa bikin lo stop berspekulasi hal yang ngga-ngga?"

"Kok galak lagi," cicit Gita pelan dengan bibir mengerucut ke depan. Dirinya masih enggan menatap mata Alfa. "Gue kan cuma...."

"Cuma asik ngebiarin kemungkinan-kemungkinan negatif terangkai di otak lo dan nyakitin diri lo sendiri." Potong Alfa cepat sebelum Gita sempat meneruskan ucapannya. Mata cowok itu masih menatap Gita tajam, meskipun kini emosi tidak lagi dominan menyelimuti dirinya. "Masih mau diem aja dan ngga tanya gue?"

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang