Part 17 : OH

548 36 2
                                    

Jangan bercanda tentang hal yang justru membuatmu semakin terluka. 

Selamat membaca :)



Ada yang diam-diam cemas, bertingkah seolah tidak peduli padahal setiap malam selalu berdoa agar bertemu dalam mimpi. Harusnya ia tidak asing lagi kelakuan orang yang sering sekali tidak masuk kelas, apalagi sahabatnya masuk ke dalam kelas yang sama, semakin menambah intensitas cowok itu tidak masuk kelas. Namun, ada degup yang tidak terjabarkan yang ia rasakan saat cowok itu tidak masuk ke kelas bersama sahabatnya kemarin, ada gelisah yang terus menerus merambat ke dalam pikirannya.

Kalau dipikir-pikir, cowok itu bukan siapa-siapanya, bertemu pun selalu bertengkar tanpa ada salah satu satu yang mau mengalah. Mereka memang pernah sebangku bersama, saling jitak tanpa rasa bersalah. Saat kembali duduk terpisah pun, mereka tetap seperti kucing dan anjing yang tidak pernah bisa akur.

Hari ini saat ia datang, belum ada satupun orang di dalam kelas. Lama ia menatap kursi yang letaknya berada di belakang kursinya, belum ada tanda-tanda cowok itu akan datang. Biasanya cowok itu selalu datang duluan sebelum dirinya tiba. Sepertinya usahanya datang lebih pagi sia-sia, mungkin hari ini wajah menyebalkan cowok itu tidak akan bisa dilihatnya.

Dengan langkah malas, Kiwi memutuskan untuk keluar kelas. Mungkin menyantap seporsi mie goreng di kantin dapat melenyapkan rasa cemasnya. Kepalanya tertunduk, menatap sepatunya yang mencium lantai sambil bersenandung.

"Nunduk aja neng, cari logam buat jajan?"

Refleks Kiwi menghentikan langkahnya, kepalanya mendongkak untuk memastikan orang yang meledeknya adalah orang yang sama dengan yang ada di dalam kepalanya. Dengan wajah dipenuhi lebam, cowok itu cengegesan di hadapannya, sepertinya cowok itu tidak menyadari raut wajah Kiwi yang sempat panik sebelum akhirnya memasang wajah jutek seperti biasa. "Eh jagoan sekolah, itu luka dikumpulin buat bayar SPP?"

"Bisa aja cabe kering, gue ke kelas dulu ya," pamit Gilang pada Kiwi, tangannya dengan iseng mengacak rambut Kiwi sebelum berlari kecil menuju kelas.

Bayangan nikmatnya menyantap mie goreng di kantin lenyap begitu saja di kepala Kiwi. Perutnya mendadak tidak lapar, ia justru ingin kembali ke dalam kelas dan menarik Gilang untuk menjelaskan mengapa cowok itu bisa terluka. Lalu ia menggeleng keras, kalau ia bertanya artinya ia akan kalah. Ia meyakinkan dirinya bahwa jantungnya yang terus berdegup kencang sejak kemarin bukan Gilang alasannya.

Baru dua langkah, kakinya kembali berhenti kala indera penglihatannya melihat seorang cowok tinggi menjulang yang sedang berjalan ke arahnya. Rasanya ia punya cara untuk bertanya tanpa langsung ke sumbernya. Cowok yang kini melambaikan tangan ke arahnya adalah kunci atas segala pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.

Alis Kiwi bertaut saat Alfa menghentikan langkah di hadapannya. Tidak ada setitik luka pun pada wajah Alfa, padahal cowok itu sama-sama tidak masuk kelas dengan Gilang kemarin. "Kok lo ngga babak belur?" ingin sekali Kiwi melakban mulutnya yang tidak bisa diajak berkompromi, langsung melontarkan pertanyaan tanpa bisa dicegah.

"Mesti banget gue babak belur?" bukannya menjawab, Alfa justru melontarkan pertanyaan yang membuat Kiwi semakin gusar.

Tangan kanan Kiwi bergerak untuk menggaruk pelipis dengan gelisah, otaknya tidak menemukan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alfa. "Ya.." Ia menelan ludahnya, tenggorokkannya tiba-tiba tercekat, "Ya.... Karna temen lo babak belur."

Alfa memasang wajah datar, berusaha menyembunyikan senyum yang akan terbit dari bibirnya. "Temen gue yang mana?"

Kiwi semakin kencang mengaruk pelipisnya, kenapa orang yang di hadapannya ini senang sekali membuat lawan bicaranya frustasi. Pantas saja Gita seringkali merasa lelah ketika menghadapi Alfa. "Yaaa... Temen yang sering sama lo."

A Gift From GodWhere stories live. Discover now