Menu 20 : Please

477 38 10
                                    

Happy reading :)

Gita menghempaskan dirinya ke tempat tidur ketika sudah selesai berbicara dengan orangtuanya. Ia berguling ke kanan dan ke kiri tanpa henti dan berakhir dengan berteriak keras seperti orang gila. Terserah orangtuanya akan mengganggap putri semata wayangnya mulai gila, ia memang sudah gila. Gila karena begitu saja percaya akan kebohongan Alfa.

Andai Gita tau semua ini hanyalah kebohongan belaka, ia tidak akan sudi diomeli oleh cowok itu ketika melakukan kesalahan. Apa yang cowok itu bilang semalam? Jangan buat ia khawatir? Cih! Gita tidak pernah rela dikhawatirkan oleh orang yang telah berdusta padanya, membuat larangan ini itu padahal bukan perintah ayahnya. Ck, seperti Alfa memang terlahir untuk menyiksa dirinya.

"Ya ampun Gitaaaa!" teriak sang ibu saat masuk ke kamar putrinya yang nyaris seperti kapal pecah, bahkan kondisi putrinya lebih mengerikan dibandingkan keadaan kamarnya. "Apa-apaan sih kamu? Sini turun!" perintah sang ibu saat melihatnya sedang melompat-lompat di atas kasur.

Dengan setengah hati Gita menuruti titah sang nyonya rumah, sambil merapihkan rambutnya yang mirip seperti singa, ia berjalan mendekati ibunya. "Ada apa?"

"Kamu yang ada apa?" tanpa menjawab, ibunya sudah terlebih dahulu menyemprot dirinya. "Kamar kayak kapal pecah, rambut kayak singa, lompat-lompat kayak monyet. Kamu itu anak gadis Gita! Apa kabarnya kalau temen ayah lihat kamu kayak sekarang?"

Bola mata Gita berputar merespon ibunya, namun kepalanya terlalu pening untuk membalas ocehan ibunya. "Yaudahlah bu. Mereka juga ngga bakal masuk kamar Gita, kan?"

"Udah ngga ngerti lagi ibu gimana ngadepin kamu."

"Makanya sering di rumah!" ucap Gita tanpa sadar.

"Gita!" tatapan tajam sang ibu membuat Gita terdiam, ia sadar sepertinya ucapannya sudah keterlaluan.

"Iya maaf." kata Gita tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Itu buat saya?" tanya Gita sambil menunjuk paperbag yang ada di tangan ibunya.

Tangan Jelita terulur untuk menyerahkan paperbag dengan enggan, dirinya terlalu shock atas ucapan Gita barusan. Ia tau diri kalau dirinya bukanlah ibu yang baik untuk anaknya, tapi ia tidak menyangka anaknya akan menyindir dirinya begitu pedas seperti sekarang. "Itu tolong dipakai untuk nanti siang. Tidak ada jeans dan celana pendek untuk hari ini. Bisa?"

"Hmm," jawab Gita dengan engga, paperbag yang ada di tangannya kini sudah ia lempar ke atas kasur tanpa repot-repot melihat baju seperti apa yang diberikan ibunya. "Pintu keluarnya ngga lupa, kan?" Sindir Gita sebelum naik kembali ke atas tempat tidur dan menggulung dirinya dalam selimut.

@@@

Gita tidak pernah menyangkal bahwa design yang dibuat ibunya merupakan design yang patut untuk dibanggakan. Tidak heran banyak orang yang rela rebutan untuk koleksi terbaru yang di keluarkan ibunya dalam edisi terbatas. Lihat saja sekarang, tanpa mengukur seinci pun tubuh anaknya, Jelita dapat membuat baju yang sangat pas untuk tubuh Gita. Gita mematut dirinya dalam cermin, senyumnya mengembang kala melihat pantulan dirinya yang begitu cantik dengan balutan dress sederhana yang dibuat ibunya. Tidak perlu banyak make up untuk membuat Gita cantik seperti sekarang, cukup bedak bayi dan pulasan sedikit lipgloss di bibirnya hingga ia tampak menakjubkan.

Seingat Gita, tadi orangtuanya bilang akan makan siang dengan rekan bisnis. Namun, ketika kakinya menyentuh anak tangga terakhir tidak ada siapapun tampak memenuhi meja makan, hanya ada makanan yang masih mengepul di meja dengan aroma yang begitu menggelitik indera penciuman.

"Cantik."

Gita tidak langsung menoleh saat mendengar pujian tersebut, sambungan di otaknya tiba-tiba terputus karena terlalu kaget mendengar suara tersebut, matanya membulat sempurna, kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak mungkin ia lupa dengan suara tersebut, suara yang sejak semalam bergaung di dalam pikirannya.

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang