Menu 12 : Mau Apa?

611 41 8
                                    

Banyak orang mungkin akan salah paham dengan sikap Gita hari ini, sejak pelajaran pertama sampai menjelang istirahat kedua, cewek itu hanya duduk diam tanpa bicara sambil menidurkan kepalanya di atas meja. Teman sekelasnya banyak menduga ia galau akibat putus dengan Dirga, namun tidak ada memperhatikan sudut matanya sering kali melirik bangku kosong di sampingnya.

"Mau kantin, ngga?" Tanya Kiwi seraya merapihkan mejanya saat bel istirahat berbunyi. Pertanyaan untuk Gita lantas saja disambut dengan kata iya oleh orang yang duduk di sampingnya. "Diem lo anak anoa!" Kiwi memukul kepala Gilang dengan gulungan buku yang akan ia simpan.

"Wah, mulai kurang ajar," Gilang mengusap kepalanya yang terasa nyut-nyutan. "Pulang lewat mana lo?"

"Permata Hijau, napa? Mau keroyok gue?"

"Ngga, mau pesenin gojek," jawab Gilang jayus. "Keseringan main sama Gita sih lo, jadinya galak."

"Halah, bilang aja modus mau tau rumah Kiwi," Gita menyambar dari belakang dengan suara lemah. Kontan, Kiwi dan Gilang membalikkan badan untuk melihat bangku belakang.

"Sakit ya, lo?" Tanya Gilang agak panik, tangannya menyibak poni Gita untuk memeriksa suhu tubuh cewek itu. "Anjrit! Panas pula!" seru Gilang hingga mendapat perhatian dari beberapa siswa yang masih bertahan di kelas.

Gita menepis tangan Gilang dari dahinya, meskipun lemas ia masih bisa mendelik kesal pada cowok itu karna menarik perhatian beberapa orang. "Anter gue pulang, Wi. Bisa ngga?"

"Gue aja yang anter lo pulang," sambar Gilang cepat sebelum Kiwi membuka suara. "Lo izinin ke guru piket ya, Wi!" perintah Gilang sambil memasukkan buku-buku Gita ke dalam tas.

Andai dalam keadaan sehat, ingin sekali Gita menjambak rambut Gilang saat ini juga, cowok itu selalu berlebihan jika ia dalam kondisi kurang sehat. "Lang, gue sama Kiwi aja ya, beneran deh. Ini udah sakit banget gue."

"Sakit apa, Git?" Kiwi mengajukan pertanyaan sebelum Gilang lebih ngotot lagi mengantar Gita pulang.

"Berdarah gue," bisik Gita pelan namun cukup terdengar oleh Gilang dan Kiwi. Sebagai perempuan, Kiwi langsung paham maksud Gita, sedangkan Gilang sudah memasang tampang panik seperti seorang ibu yang belum mendapati anaknya pulang saat magrib.

"Buruan ke guru piket, bego!" Kiwi mendorong Gilang keluar kelas, "Jangan bawel, gue yang anterin Gita. Kalo perlu nanti gue laporan sama lo kalo udah sampe, puas?" Kata Kiwi saat Gilang mencoba berkelit dan ingin kembali ke dekat Gita. "Buruan! Nanti kehabisan darah!" kalimat terakhirnya ampuh membuat Gilang berlari menyusuri koridor untuk menemui guru piket, Kiwi menggeleng heran. Untuk ukuran persahabatan, Gilang terlalu perhatian.

Dengan nafas tersenggal Gilang menghampiri meja piket untuk meminta surat izin. Mulutnya berdecak kala indera penglihatannya tidak menemukan satupun yang berjaga di meja piket. "Bangkelah," Gilang mengumpat tanpa suara, tangannya langsung merogoh kantong celananya untuk meraih ponselnya. Menghubungi orang yang mungkin saja akan menonjoknya jika tidak cepat memberi kabar.

Jari Gilang mengetuk meja piket sambil menunggu panggilannya tersambung. "Gita sakit, badannya panas." Lapor Gilang sebelum orang di ujung sana sempat mengucapkan kata halo.

"Bawa UKS aja, kasih parasetamol juga sembuh." Jawab Alfa dengan suara tenang.

"Masalahnya bukan panas doang," entah kenapa Gilang menjadi emosi sendiri mendengar jawaban Alfa yang terkesan tidak peduli.

"Yaudah gue jemput sekarang."

"Ngga usah. Kiwi mau anter pulang sebelum Gita kehabisan darah." Gilang memutuskan panggilan sebelum ia naik darah. Ponselnya kembali ia simpan ke dalam kantong celana ketika guru piket ada di hadapannya. Setelah perdebatan singkat apakah Gilang berbohong atau tidak, akhirnya ia mendapat surat izin dan langsung bergegas kembali ke kelas.

A Gift From GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang