Menu 26 : Berjuang itu capek!

500 26 9
                                    

Ada yang berdiri dengan resah di bawah terik sinar matahari, meskipun jarum jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan angka 3, tapi orang yang akan ditemuinya belum juga menampakkan batang hidungnya. Kasak-kasuk terdengar di sekitar, pasalnya sudah beberapa kali mereka menemukan cowok tersebut di depan SMAnya, apalah artinya seragam yang berbeda dan persaingan antar sekolah. Ketika ada makhluk Tuhan yang hampir sempurna, rasanya kaum hawa berdosa untuk mengabaikannya.

Bentar lagi, cowok itu mencoba meyakini diri sendiri ketika jarum jamnya hampir menunjukkan angka 4. Matanya terus menatap gerbang SMA Surya tanpa lelah walaupun bulir-bulir keringat sudah mengucur jelas di pelipisnya. Andai tidak ingin memastikan dengan telinga sendiri, sudah daritadi ia masuk mobil dan bergegas pergi dari tempat ini.

Ia mendesah, stok kesabarannya habis sudah, tangannya menekan kunci mobil dan ingin segera pulang ke rumah, lalu niatnya gagal saat ada suara yang mengintrupsi langkahnya.

"Cowok!" Sapaan ringan terdengar di telinganya, seolah orang yang baru saja datang tidak menyadari keterlambatannya. "Eits, ngga boleh marah," tambah Gita saat melihat raut wajah Kendra yang mulai mengeras, "Gue kan bilang pulang sekolah, jadi bukan salah gue dong lo nunggu lama."

"Lo sengaja, kan?" Tuduh Kendra dengan tatapan mata menyalang.

Senyum manis Gita yang seharusnya semanis teh botoh di tengah teriknya sang surya tidak menyurutkan amarah Kendra. Tolol sekali ia bisa-bisanya dipermainkan oleh Gita, harusnya sebelum Kendra memastikan pesan Gita dulu sebelum memutuskan untuk menunggu.

"Gue lupa bilang sih kalo gue sering pulang telat, pas bel pulang belum tentu gue pulang," Gita dengan lancarnya berdusta. Padahal ia sudah tau Kendra menunggunya saat cowok itu membombardir aplikasi LINEnya.

"Serah lo, susah emang ngadepin cewek yang ngga punya otak. Kalo otak lo nyampe, harusnya lo keluar dan ngga buat gue nunggu sampe kepanasan."

"Kalo-kalo lupa nih," Gita mengingatkan dengan nada sinis, "Kalo otak lo itu berfungsi dengan baik, harusnya lo ngga butuh gue sebagai prantara lo dan Alfa."

"Anjrit! Untung lo cewek!" Kendra menatap Gita geram, namun yang ditatap justru hanya memasang senyum meremehkan. "Jadi cewek itu bukan keberuntungan, Mas. Tapi takdir. Cakep-cakep otaknya ngga dipake!"

"Jadi?" Kendra mengabaikan ucapan Gita, ia memilih untuk langsung ke pokok pembicaraan, karena bertengkar dengan Gita tidak akan selesai meskipun langit berubah warna menjadi hitam

"Semalem Alfa bilang mau ke makam Clara," ada jeda sesekon sebelum Gita melanjutkan, "tapi gue belum bilang kalo lo mau ketemu dia di sana."

Belum sempat Kendra menanggapi, Gita keburu buka suara lagi, "Tugas gue kelar dan sesuai janji, lo ngga bakal narik gue lagi ke masalah kalian. Sekarang, boleh gue yang buat permintaan?"

"Apa?"

"Lo jangan sentuh Alfa."

"Permintaan lo terlalu berat, sayang." ucap Kendra sebelum pergi meningalkan Gita begitu saja, bahkan cowok itu tidak berbasa-basi menawarkan diri untuk mengantarkan Gita pulang.

Mobil milik Kendra menghilang dari pandangan Gita seiring hembusan nafas berat yang keluar dari mulutnya. Gita mengusap wajahnya dengan gusar, rasa khawatirnya mendadak begitu besar.

Gita benar-benar tidak ingin Alfa kembali terluka.

@@@

"Lo marah, ya?"

Sebuah pertanyaan terlontor dari mulut Gita untuk orang yang sedang membocenginya. Tadi setelah Kendra pergi, Alfa tiba-tiba saja sudah muncul di dekat Gita. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Alfa hanya mengangsurkan helm pada Gita dan menyuruh Gita naik dengan isyarat dagunya.

A Gift From GodWhere stories live. Discover now