Menu 3 : Kelas Kosong

758 39 20
                                    

Selamat menikmati, semoga ngga kurang bumbu di part ini :)

"Darimana?"

Gita membeku di tempat kala suara sang ayah menyambut dirinya di depan pintu. Nyalinya menyusut, kepalanya menunduk memperhatikan lantai dengan perasaan kalut. Entah jam berapa sekarang, seingat Gita, sepulang dari Bintaro dia berkeliling tanpa tujuan yang jelas. Keluar masuk Tol dalam dan luar kota hanya untuk mengusir pikirannya yang suntuk. Lalu, sekarang cewek itu harus jawab apa?

"Kemarikan kunci mobilnya," Tangan sang ayah terulur untuk meminta kunci.

"Tapi saya besok sekolah," ucap Gita dengan suara rendah, satu tangannya menggenggam kunci dengan erat, seakan kunci itu tidak akan diambil ayahnya jika dia menggenggamnya dengan erat.

"Tau apa yang paling saya tidak suka?" Tanya sang ayah, mengabaikan alasan putri semata wayangnya.

Gita menelan ludah, mau tidak mau dia mengangkat wajahnya untuk menatap sang ayah. Dia baru sadar ayahnya mengenakan piyama bukan baju kerja, itu artinya sang ayah sudah lama berada di rumah. "Mengulang ucapan yang sama untuk kedua kalinya," Jawab Gita lancar, otaknya yang cerdas masih mengingat apa yang ayahnya suka dan tidak suka meskipun mereka jarang bertatap muka.

"Lalu?" Kedua tangan ayahnya terlipat, memasang wajah datar yang membuat nyali Gita semakin menciut. Gita memang seringkali bersikap tidak sopan dengan orang tuanya, tapi dia tau mana waktunya membantah dan tidak membantah.

Helaan nafas kasar keluar dari mulut Gita, dengan berat hati menyerahkan kuncil mobil kepada ayahnya. "Kalau ayah lupa, mobil itu hadiah ulang tahun saya tahun lalu, rasanya ngga adil kalau ayah menyita barang pribadi saya."

"Masih bisa bicara keadilan? Saya sering mendapat laporan kalau kamu pulang jam 1 pagi, tapi hari ini saya tidak bisa mentolerir lagi, pergi tanpa pamit dan pulang jam 4, mau jadi apa kamu ini?"

"SAYA HARUS PAMIT KEMANA?" Gita menjerit melupakan kekesalannya, tubuhnya bergetar, nafasnya naik turun menahan emosi yang sekian lama tertahan. "Pamit ke bibi? Pamit ke supir? Cih, mereka hanya pekerja bukan orang tua saya!"

Keheningan mendominasi keduanya, ucapannya Gita bak tamparan bagi ayahnya. Rahadian baru menyadari bahwa anaknya telah tumbuh menjadi gadis remaja tanpa pengawasannya. Mulutnya yang pandai presentasi di hadapan klien besar kini tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan putrinya yang sederhana. Beliau menghela nafas pendek sebelum berbicara, "Masuk! Hari ini tidak usah sekolah, saya akan minta izin ke wali kelas."

"Jangan khawatir, saya tidak pernah menyentuh club malam ataupun obat terlarang. Meskipun tumbuh tanpa perhatian, setidaknya saya tidak bersifat seperti kebanyakan anak lain yang kurang kasih sayang orang tua. Ayah berkerja untuk saya, kan? Tapi Ayah jangan lupa, saya juga butuh ayah untuk sandaran saya." Ucap Gita sebelum masuk kedalam rumah.

@@@

Kelas 3 sosial 1 tampak lebih ramai dari biasanya, tidak ada siswi yang sengaja meninggalkan kelas untuk sekedar menghias wajah atau mengisi perut sebelum jam pertama dimulai, mereka semua lebih memilih bertahan di dalam kelas sembari mencuri pandang ke deratan bangku paling belakang. Kali ini bukan dengan sorot iri yang terpancar, melainkan sorot penuh kekaguman, apalagi ada objek baru yang tidak kalah tampan. oh tentu saja kabar Gita tidak masuk kelas merupakan sebuah kesenangan, itu artinya Gilang akan bebas tanpa monyet penjaga, bahkan Gilang sedari tadi sibuk berbicara dengan Alfa, yang notabene merupakan sahabatnya sejak sekolah menengah pertama.

"Gue baru tau lo punya temen akrab," sindir Kiwi saat menaruh tas diatas meja, posisi tempat duduknya memang bersebarangan dengan Gilang.

"Gue Alfa," Cowok itu memperkenalkan diri tanpa diminta, membuat Kiwi melebarkan matanya tanpa sadar. Kerutan samar tercetak samar di kening Kiwi, cewek itu berusaha mengingat dimana pernah mendengar nama tersebut.

A Gift From GodWhere stories live. Discover now