Menu 4 : Barter

747 39 12
                                    

Semoga suka :)

Banyak manusia yang tidak pernah menyadari, kalau uang bisa dicari sedangkan waktu tidak akan pernah kembali, dan pada akhirnya manusia hanya bisa merutuki diri sendiri. Bahwa kebahagian tidak melulu tentang materi meskipun segala sesuatunya butuh materi, bahwa sekedar pelukan bisa menyembuhkan dibandingkan perawatan mahal dari rumah sakit internasional. Rahadian menatap nanar putri sewata wayangnya yang sedang melamun di pinggir kolam renang, ingin mendekat namun ragu, bagaimana kalau putrinya justru terganggu?

Hari ini Rahadian sengaja pulang cepat, menolak jadwal rapat untuk mendapatkan kontrak senilai ratusan juta rupiah, atau bisa jadi lebih, tapi pria paruh baya itu tidak lagi peduli, rasa bersalah bercampur khawatir menghantuinya sejak pagi. Bukan takut Gita minggat, Rahadian yakin putrinya akan melakukan hal tersebut dari dulu jika ingin, entahlah, beliau tidak dapat mempresentasikan apa yang dirasakannya kini.

"Mang Ujang?"

Hati Rahadian mencelos, kehadiran dirinya justru dikira supir oleh anaknya. Segitu ganjil kah kehardirannya di rumahnya sendiri? Rumah yang dulu dia buat untuk melepas lelah tapi nyatanya hanya digunakan untuk tempat singgah sementara.

"Maaf," Cicit Gita saat menoleh dan mendapati ayahnya yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu dengan saya?" Tanya Gita tak enak hati.

Rahadian Menggeleng seraya mendekat lalu mengikuti apa yang dilakukan anaknya, duduk di kolam renang dan membiarkan kakinya tenggelam di dalam air kolam. "Mang Ujang sering nemenin kamu di sini?"

"Lumayan, kadang bawa martabak atau pancake yang dijual di ujung komplek,"

"Pancake durian?" Rahadian terus bertanya untuk mengkikis jarak kasat mata yang telah lama tercipta diantara keduanya.

Gita mendengus, bahkan untuk hal sesepele ini ayahnya tidak mengetahui, "Saya ngga suka durian."

Percayalah, basa-basi terkadang bisa menjadi bom bunuh diri jika tidak pada tempatnya. "Rasanya ay-- saya harus banyak melungkan waktu untuk bisa tau tentang kamu," Lidah Radian terasa kelu, sulit sekali membiasakan menyebut dirinya sebagai ayah di depan anaknya.

"Jangan," Gita menggeleng, "Saya ngga punya uang banyak untuk membayar waktu ayah yang berharga."

Ada jeda tercipta, percakapan mereka menggantung begitu saja di udara. Sang ayah bungkam, serasa tertikam oleh ucapan anaknya. "Kalau kita barter gimana? Saya janji akan pulang kerja jam 5 sore, itupun kalau kamu setuju."

Mulut Gita terbuka, ternyata ayahnya menganggap serius ucapannya. "Tanpa dinas keluar negeri?" Rasa penasaran membuat Gita akhirnya bertanya, lagipula ayahnya tidak mungkin menyuruhnya membayar dengan rupiah. Gita mencium ada bau tidak enak dari percakapan ini.

"Dinas paling lama seminggu, deal?" Rahadian mencoba bernegosiasi.

Gita mendengus geli, tentu saja ayahnya tidak akan bisa tanpa dinas keluar negeri, anak perusahaannya juga butuh sesekali disambangi oleh pemiliknya. Menelantarkan perusahaan haram hukumnya untuk seorang Rahadian, meskipun tanpa sadar pria itu justru menelantarkan anaknya. "Hmm," Sudut mata Gita melirik Rahadian seraya berfikir untuk menerima atau menolak penawaran ayahnya. "Tergantung sih, apa yang mesti saya tukar?"

"Mobil kamu,"

Bola mata Gita hampir saja jatuh ke dalam kolam renang saat mendengar jawaban ayahnya. Apa perusahannya ayahnya mulai bangkrut sampai harus meminta mobil anaknya sendiri? "Ayah ngga lagi ngalamin krisis ekonomi, kan?"

A Gift From GodWhere stories live. Discover now