Menu 27 : Teori Si Psikolog Gagal

487 22 3
                                    

Tidak pernah ada yang mendustai nikmatnya bunyi bel pulang sekolah, sebagian siswa sudah krasak krusuk sebelum guru di jam terakhir mengucapkan salam dan berjalan meninggalkan kelas. Selesai merapihkan barang-barangnya, Gita menolehkan kepalanya pada Alfa yang sedang sibuk dengan ponsel, seharian ini Gita tidak berani menyapa Alfa, bahkan cowok itu tidak peduli kenapa dirinya bisa tertidur di pelajaran jam pertama dan kedua.

Gita mendesah, tawaran Kiwi untuk pulang bersama ia tolak mentah-mentah, awalnya ia kira Alfa akan menawarkan dirinya untuk pulang bersama, tapi nyatanya setelah lima menit kepergian Kiwi tidak ada tanda-tanda cowok itu akan mengajak Gita pulang, cowok itu masih saja setia menatap layar ponselnya.

Apa iya Gita harus meminta? Melunturkan rasa malunya sekali lagi agar diajak bicara Alfa? Astaga, bahkan di luar sana ada banyak cowok yang akan sukarela mengantar dirinya pulang kalau ia meminta, kenapa Gita harus repot-repot meminta? Toh hal seperti ini sudah biasa, saling bungkam ketika ada masalah yang belum terselesaikan.

Tapi entah kenapa Gita merasa gelisah dengan perang dingin kali ini, tatapan Alfa padanya kemarin persis seperti cowok itu tau kalau Gita bertemu pertama kali dengan Kendra, ada kilat kemarahan bercampur khawatir meskipun Alfa berusaha menutupinya. Dan Gita terlalu takut jika ucapan Alfa benar adanya, kalau cowok itu akan berhenti peduli karena Gita terlalu keras kepala untuk sekedar menuruti ucapan Alfa.

Lama Gita memainkan tali tasnya sebelum akhirnya ia beranjak dan memberanikan diri berjalan menuju meja Alfa. Tangan Gita mengetuk meja tiga kali agar mendapat perhatian dari Alfa, "Pulang bareng, boleh?" tanya Gita ragu-ragu.

Alfa tidak langsung menjawab, cowok itu lebih memilih memainkan ponselnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Gita, "Gue ngga bawa motor."

"OH," respon Gita tanpa bisa menyembunyikan rasa kecewanya, "Yaudah gue pesen gojek aja, duluan ya."

"Oke," sahut Alfa seraya memasukan ponselnya ke saku celana, "Jalan ke gerbangnya barengan aja, jemputan gue udah dateng." Alfa beranjak berdiri, memakai tasnya lalu berjalan mendahului Gita keluar kelas.

Hanya ada suara langkah kaki yang terdengar, baik Gita maupun Alfa tidak ada yang berniat membuka suara. Gita berjalan sambil menatap sepatunya, sesekali mulutnya menguap dan segera ia tutup dengan punggung tangannya. Sial, kenapa rasa kantuknya harus muncul lagi sekarang? Masa Gita harus bersandar di pundak abang Go-Jek? Naas sekali nasibnya!

"Kok lama?"

Gita mendongakkan kepalanya saat indera pendengarannya menangkap suara wanita, ia yakin pertanyaan itu ditunjukkan untuk dirinya atau Alfa. Setau Gita driver Go-Jek yang ia pesan adalah seorang pria, lalu cewek ini?

Tidak butuh waktu 30 detik untuk menjawab pertanyaan di otak Gita, karena saat tubuh Alfa memeluk cewek yang berdiri tidak jauh dari hadapannya, Gita tau jawabannya. Mendadak mata Gita terasa panas menyaksikan pandangan di depannya, kakinya terasa berat dan tidak mau beranjak. Tak hanya Gita, beberapa siswi SMA Surya yang kebetulan masih di area sekolah juga menahan napasnya melihat Alfa memeluk seorang cewek begitu eratnya.

Apa yang harus Gita jabarkan untuk cewek yang datang menjemput Alfa? Rasanya kata cantik saja kurang cukup, cewek itu mempunyai pesona yang membuat kaum hawa manapun akan merasa kerdil dengan kecantikannya. Suaranya? Bagai oasis di tengah gurun pasir.

"Temen lo ngga diajak bareng?"

Indera pendengaran Gita masih dapat mendengar pertanyaan cewek itu dengan jelas, bahkan tanpa diduga cewek itu melemparkan senyum pada Gita, membuatnya semakin yakin kalau teman yang dimaksud cewek itu adalah dirinya. Tuhan, Gita harus apa? Bibirnya tidak bisa bergerak sama sekali untuk sekedar menampilkan senyum palsu.

A Gift From GodOù les histoires vivent. Découvrez maintenant