11.

17K 1K 18
                                    


_

Setelah melaksanakan sholat subuh tadi. Ayraa menyiapkan pakaian dan keperluan Afwan lebih Awal. Luka di hatinya memang belum sepenuhnya kering. Tapi Biar bagaimanapun, ia tak mau egois dengan menelantarkan Afwan. Ia tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri, ya walau sedikit ada perbedaan di dirinya. Jika dulu banyak bicara, kini Ayraa banyak tersenyum menyimpan Luka.

Setelah Afwan siap untuk berangkat ke kantor. Seperti biasa Ayraa mengantarnya sampai teras, menasihati hati-hati, Jangan lupa makan siang dan jangan lupa minum air putih juga tak dia tinggalkan meski setan di dirinya berkata 'Mending pergi deh. Daripada ngebatin terus, gabaik buat kesehatan'. Tapi Ayraa tak mendengarkan kata-kata setan itu, karena malaikat baik membisiki dirinya 'Ketahuilah, Dia sayang sama kamu. Jangan coba-coba untuk tinggalkan!'.

Afwan sudah berangkat sebelum tadinya mencium kening Ayraa seperti biasa. Dan Ayraa menghela napas lega. Setidaknya ia tak terus-menerus menahan air mata kalau-kalau melihat Afwan tersenyum padanya dan mencari topik untuk di bahas. Entah mengapa canggung selalu berpendar ketika mereka berduaan.

Bukan. Bukan berarti Ayraa tidak memaafkan kesalahan Afwan, ia sudah memaafkan. Tapi mungkin untuk bersikap seperti dulu lagi masih agak canggung walau masalah itu mungkin rasaanya sudah basi untuk di bahas. Sudahlah. Lupakan. Ayraa tidak mau mengungkitnya lagi.

Hari ini Ayraa tidak ada kegiatan keluar rumah, semenjak kejadian itu. Ayraa lebih memilih mencari kesibukan di rumah daripada keluar sana dan mendapat berita yang tidak-tidak. Ia juga sekarang jarang ke kantor Afwan, bahkan belum menginjakan kakinya lagi semenjak. Ah sudahlah. Kehidupan wanita itu terlalu miris untuk di ceritakan. Selagi dirinya tidak macam-macam dengan Afwan, Ayraa terima saja wanita itu sering bertemu Suaminya.

Rasanya kepalanya terasa pusing jika membicarakan wanita tersebut. Ayraa memutuskan untuk ke kamar dan tidur siang.

Jam di dinding menunjuk ke angka 5. Ayraa langsung bangkit dari kasurnya dan terburu-buru untuk menyambut suaminya. Tapi perutnya terlalu sakit sehingga Ayraa mengurungkan niat untuk ber-lari.

Mata Ayraa membeliak sempurna melihat Afwan sudah ada di ruang Tv dengan baju santai dan secangkir cokelat panasnya. Ayraa mendekat lalu menyalami punggung tangan Afwan.

"Maaf ya Mas, Ay baru bangun." Ujarnya lirih. "Tak apa. Yang penting kamu bangun." Katanya lalu menarik Ayraa kedalam dekapannya. Canggung? Pasti. Tapi nyaman.

"Mas. Maaf aku tinggal dulu ya, perut aku sakit." Katanya yang sontak membuat Afwan mengerutkan kening lalu mengikuti istrinya itu.

"Cari apa Ay?" Tanya Afwan yang melihat Ayraa mencari-cari sesuatu di meja rias. "Mas Afwan." Pekiknya kaget.

"Kamu cari apa?" Afwan pun mendekat ingin membantu. "Anu--anu Mas. Aku.. Da--pet. Tapi pem--balutnya kayaknya habis. Hehe" Afwan yang mendengarnya menahan tawa. Melihat ekspresi wajah Ayraa yang seprti itu membuatnya tak tega tertawa di depan Ayraa.

"Yaudah kamu tunggu sebentar. Biar aku beli dulu di supermarket." Kata Afwan kemudian. "Tapi Mas." Afwan berhenti mendengar suara Ayraa.

"Kenapa?" Tanyanya. "Kamu gak apa-apa beli pem-" Ragu terdengar di nada suara Ayraa. Afwan pun hanya tersenyum dan berkata 'gak apa-apa' tanpa suara.

Hampir 30 menit Ayraa menunggu akhirnya Afwan datang juga dengan pembalut satu bal di dalam kantung plastik besar.

"Makasih ya Mas." Kata Ayraa langsung pergi ke kamar mandi. Afwan hanya tertawa kecil sesekali menggeleng.

Kejadian beberapa menit yang lalu membuat Ayraa malu bertemu Afwan. Bagaimana bisa pembalutnya sampai habis, dan dirinya tak sadar kalau ini sudah waktunya tamunya itu datang.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Silau dari luar membuat yang masuk hanya tampak siluetnya, karena lampu kamar sengaja di matikan. Ayraa menyadari bahwa yang datang itu Afwan. Maka ia pura-pura tidur menahan malunya.

Kasur di sebelahnya bergerak melesak. Tangan kekar itu kini sudah melingkar di pinggang Ayraa. Posisinya Ayraa membelakangi Afwan. Senormal mungkin Ayraa menormalkan detak jantung dan nafasnya. Sesekali matanya mengerjap takut.

"Gausah di pakasain kalau memang belum ngantuk nanti mata kamu malah sakit lagi." Suara serak berpendar di gendang telinganya Ayraa.

"Kamu tahu ya aku belum tidur?" Kini Ayraa membenarkan posisinya menjadi terlentang.

"Gausah malu gitu, kan lampunya mati. Aku gak lihat kok kalau pipi kamu merah. Hehe" Ledek Afwan yang langsung membuat Ayraa tahan napas. 'Darimana dia tau kalau aku lagi salting.' pekiknya di dalam hati.

"Apasih Mas. Sok tau deh" Cibir Ayraa. Afwan hanya tertawa kecil. Ia berhasil meledek istrinya.

"Ay?" Panggil Afwan.

"Hmm?"

"Kenapa sih kamu ngebiarin Ria terus temui aku?" Tanya Afwan kemudian. Ayraa diam. Afwan memposisikan tidurnya menghadap Ayraa dan melingkarkan lagi tangannya di pinggang Ayraa.

"Karena aku seorang wanita, begitupun Mbak Ria. Mungkin untuk sekarang, yang bisa di percaya mendengar semua cerita-ceritanya dia. Ya cuma kamu. Kalau aku ngelarang untuk dia gak nemuin kamu, Mbak Ria pasti merasa kesepian. Sedangkan untuk percaya sama yang lain dia belum bisa, karena ini juga menyangkut reputasi dirinya di depan publik." Ayraa memposisikan dirinya menghadap Afwan. Menatapnya lekat di bawah sinar dari luar jendela.

"Aku percaya, kamu dan Mbak Ria gak ngelakuin hal yang aneh-aneh. Meski aku paham, pelukan kamu sekarang terbagi untuk dirinya. Tapi aku harap hati, kasih sayang juga cinta kamu gak terbagi untuk dirinya. Kalau andai itu terjadi, aku akan coba bertahan hidup dalam poligami. Tapi seandainya ada yang merasa tak adil atau tersakiti, aku yang akan lebih dulu pergi Mas." Perkataan Ayraa barusan membuat Afwan terdiam. Ucapan terakhirnya entah seperti peringatan atau ancaman untuk Afwan. Keduanya terlalu sama jika di simpulkan dari perkataan Ayraa barusan.

Suaranya yang terdengar sedikit bergetar membuat Hati Afwan rasanya di hunus oleh pedang, Afwan tau Ayraa bukan wanita seperti di luar sana. Istrinya ini tegar dan mempunyai prinsip yang kuat.

"Poligami itu gak akan pernah terjadi walau kamu mengizinkannya sekalipun. Itu gak akan pernah terjadi, aku bisa pastiin ke kamu kalau aku dan Ria hanya sebatas teman. Rasa aku sama dia cuma sebatas kasihan. Gak lebih Ay, dan aku gak akan ngebiarin kamu pergi dari hidup aku sebesar apapun itu masalahnya." Balas Afwan kemudian. Nadanya terdengar lirih dan memohon. Ayraa tersenyum di dalam kegelapan. Tapi Afwan masih bisa melihatnya.

"Jangan meremehkan rasa kasihan ke seseorang Mas, karena rasa kasihan bisa membuat kita mengorbankan apapun demi orang yang kita kasihani." Kata Ayraa sendu. Entah mengapa hatinya kini sudah merasa lebih tenang, setidaknya Afwan mengetahui kalau dirinya tidak mau di poligami.

"Tetap jadikan aku istrimu satu-satunya Mas." Kata Ayraa lalu memeluk Afwan. "Iya. Pasti Ay" Afwan mencium kening Ayraa sebelum akhirnya terlelap.



Jeng-jeng.
Akhirnya Update juga yaaaaa 😆 masih ada yang setia-kah dengan Cerita yang makin hari makin Absurd ini? Hehe semoga kalian setia ya, *jangan kek doi yang gak setia😂.

Betewe, udah Takbiran aja ya? Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan kita semua untuk mendengar gema takbirnya. Buat yang puasanya Full. Aku ucapkan selamat ya, semoga di tahun yang akan datang bisa full lagi dengan nikmat yang di tambah dan anggota keluarga yang masih utuh Aamiin.

Andai jemari tak sempat berjabat,
Andai raga tak dapat bertatap,
Seiring beduk menggema dan seruan takbir berkumandang,
Tiada pemberian terindah dan perbuatan termulia selain maaf dan saling memaafkan.
Minal aidzin wal faidzin,
mohon maaf lahir dan batin
Selamat Hari Raya Idul Fitri1437H

Author dan keluarga 😊

Dear My Husband ✅Where stories live. Discover now