35.

30.1K 1.1K 36
                                    

Semenyakitkan ini kah rasanya cemburu melihat orang yang kita sayang ternyata lebih bahagia dengan orang lain di banding kita?.
.
.
.
.

Langit mulai menepis gelap dengan menampakkan terang.  Afwan memperlambat langkahnya selepas pulang sholat subuh dari masjid dekat rumah.

Pikirannya terus memutar ucapan Kiyai Abdurrahman yang tadi memberinya wejangan sebelum pulang.

'Jangan mendiami istrimu. Sesungguhnya hanya kita tempat sandaran terkuatnya. Jika kita acuh, maka jangan salahkan jika dia mengharapkan pundak orang lain. Buang lah ego, sesungguhnya keluarga akan terasa harmonis ketika kita sama-sama mengenyampingkan ego. Jadi sekarang Pulang dan peluklah ia. Kata maaf adalah kata yang terbaik untuk membuat istri tersenyum, maka ucapakan maaf dalam pelukannya.'

Sesampainya di rumah, Afwan melihat istrinya sedang melepas mukena. Rasanya ia ingin memeluk tubuh mungil itu, tapi egonya saat ini tak bisa ia kendalikan.

Menyadari bahwa ada orang di belakangnya Ayraa menoleh dan mendapati Afwan sedang menatapnya lalu membuang tatapannya itu, Ayraa tahu kenapa tingkah suaminya seperti itu. Ayraa pun mengambil telapak tangan Afwan untuk ia salimi.

"Air hangatnya udah aku siapin, sekarang Mas mandi ya. Aku tinggal ke bawah dulu" ujarnya lalu keluar dan menutup pintu.

Setelah Ayraa menutup pintu, tanpa sadar ia memejamkan matanya dan menahan perih di dadanya ketika mendapat perlakuan seperti itu dari Afwan.

Afwan pun meneteskan air matanya ketika Ayraa keluar.  Kenapa egonya begitu tinggi. Padahal Ayraa hanya berbincang dengan Azzam, bukan berciuman seperti yang ia lakukan waktu dulu.

Afwan pun menggeram dan merutuki kebodohannya.

🍃🍃🍃🍃

"Mas Afwan..." Pekiknya. Yang di panggil pun masih bersikap sedingin embun malam, Afwan hanya diam membisu seperti tadi di kamar. Bahkan untuk berdeham tanda meng-iyakan saja tidak Afwan lakukan.

Sebisa mungkin Ayraa mempertahankan senyumnya. "Mas, mau aku buatin roti pakai selai apa? Coklat? Kacang? Str---"

"Aku sudah telat. Lebih baik aku berangkat sekarang, kamu jangan lupa makan dan minum vitaminnya. Assalamualaikum." Ayraa terdiam membisu ketika melihat suaminya kini benar-benar acuh terhadapnya. Bayangkan saja, Afwan berucap tapi tak mau menatapnya. Semenjijikan itukah dirinya?

Sungguh Ayraa tak tahan lagi dengan semua ini.

Baru saja afwan ingin membuka pintu rumah untuk keluar, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.

Afwan berbalik lalu menatap mata si pemilik tangan itu.

"Mas tuh kenapa sih? Mas masih cemburu sama pertemuan aku dan Azzam kemarin? Iya? Mas, aku tuh sama Azzam cuma ngobrol dan nostalgia waktu kita SMK dulu. Aku sama Azzam gak ada apa-apa." Jelas Ayraa dengan nada rengekannya. Tangannya masih setia menahan tangan Afwan.

"Aku tau." Balas Afwan dingin lalu melepaskan tangan Ayraa perlahan.

"Kalau tau ya gak kayak gini dong.." Suara Ayraa memekik. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Gak kayak gini gimana?" Tanpa di sadari nada Afwan naik satu oktaf. Ayraa reflek berkedip dan mengedikkan bahunya tanda kaget.

"Ketika aku melihat kamu kemarin bisa tertawa lepas dengan laki-laki lain, di situ aku merasa kalau aku gagal menjadi suami yang baik Ay. Kenapa? Karena selama kita menikah, aku gak pernah bikin kamu tertawa lepas seperti itu. Aku cemburu dengan Azzam yang dengan mudah membuat kamu bahagia. Aku cemburu Ay, aku cem---"

Dear My Husband ✅Där berättelser lever. Upptäck nu