2. Awal (Valencia)

216K 11.3K 185
                                    

Hidup adalah sebuah permainan yang harus dimainkan setiap tokohnya.

||..||..||..||

Aku mengehela napasku berat untuk kesekian kalinya.

Apa hidupku harus sebegininya?
Memangnya dosa apa yang dulu pernah kuperbuat hingga karmanya sekejam ini? Seingatku, aku selalu berbuat baik pada setiap orang. Aku memang tidak sempurna dan pasti melakukan kesalahan. Hanya saja, aku tak pernah merasa bila sudah melakukan sesuatu yang besar, hingga membuatku bisa mendapatkan ganjaran seperti saat ini.

Kulangkahkan kakiku memasuki kantor. Mataku bergerak liar kesana kemari memerhatikan sekeliling. Berjaga-jaga, kali-kali saja Adrian tiba-tiba muncul dan membuatku kerepotan karena gugup berhadapan dengannya.

Aku berjalan cepat keruanganku dan segera menaruh berkas-berkas yang kubawa tadi pada mejaku. Belum banyak orang dikantor. Hanya ada seorang wanita tua dan pria paruh bayah yang sedang meminum kopi dimeja mereka.

"DORRR," teriak sebuah suara dengan begitu nyaring secara tiba-tiba.

Aku yang tersentak kaget langsung saja menoleh kebelakang. Mencari asal suara yang hampir saja membuat jantungku copot dari tempatnya.

"Jono, Kau mau aku mati?" pekikku kesal sambil mengatur deru napasku yang memburu. Dan pekikanku ternyata berhasil membuat pria paruh bayah dan wanita tua itu memandang kearah kami. Ini semua karena Jono.

Jono menyengir lebar tanpa dosa. Menunjukkan barisan gigi putihnya. Jemarinya meraih pipiku dan mencubitnya geram.

"Aku tidak akan membuatmu mati. Kalau kau mati, siapa yang jadi istriku nanti?" sahutnya santai.

Aku mendesis sebal. "Siapa juga yang mau jadi istrimu?" sinisku dan membuang wajah darinya. Aku berusaha menunjukkan padanya bahwa kekesalanku sudah naik level.

"Ya, harus mau. Kalau kau tidak mau, maka aku akan memaksamu," ujarnya dan langsung merangkulkan tangannya pada bahuku.

"Jono cukup. Berhenti menggangguku." Aku menatapnya dengan pandangan tajamku dan memasang wajah datarku.

Jono memajukan bibirnya dan menekuk wajahnya merasa tak suka melihatku yang marah padanya. dia sangat cocok melakukan hal itu karena alis hitam tebalnya dan mata tajamnya yang kontras membuatnya terlihat, manis?

"Berhenti memanggilku Jono, Val. Kau bisa memanggilku dengan sebutan sayang," rajuknya dengan wajahnya yang menggemaskan itu.

"Jono adalah nama yang pas denganmu. Pertama, Jo-nya diambil dari Joshua dan No-nya diambil dari Revano," jelasku dengan mengangkat salah satu alisku.

"Lagipula, untuk apa kau masih disini? Sudah jam 9. Manager sepertimu, pantasnya berada diruanganmu sekarang," lanjutku lagi dan melepaskan tangannya yang sedari tadi masih merangkulku.

Jono mengedik bahunya dan bibirnya melengkung meremehkan.

"Aku anak dari pemilik perusahaan ini. Aku memiliki aset 30%. Jadi, tidak mungkin aku terlengser dari kedudukanku. Tidak akan ada yang bisa menggugatku, kecuali kalau kakakku sendiri yang dengan paksa mengeluarkanku. Itupun sulit karena ia harus berunding dulu dengan ayah kami yang galak itu."

Aku memutar kedua bola mataku malas. Semoga saja Adrian sifatnya tidak sama dengan adiknya ini. Kalau sama, aku bisa cepat tua mengahadapinya setiap hari.

"Terserahmu saja. Yang pasti, aku ingin bekerja dan aku tidak mau diganggu olehmu," gerutuku padanya, lalu mendorong tubuhnya keras agar menjauh dariku.

"Aw," adu Jono saat tubuhnya mengenai meja yang berada disamping mejaku. Wajahnya meringis dan tangan kanannya memegang pinggangnya yang terbentur ujung meja tersebut.

Billionare's Wife (COMPLETED)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon