17. Mencoba (Valencia)

134K 8.8K 105
                                    

Karena cinta adalah saat dimana mulut tak berkata apa-apa, tetapi hati terus meneriakkan namanya.

||..||..||..||

Adine tersenyum tenang dihadapanku.

"Kau tidak ingin memesan lagi?" tanyaku padanya dan Adine menggeleng kecil sambil tersenyum geli.

"Kakak, harus berapa kali kukatan bahwa aku sedang diet," katanya dengan kekehan diakhir kalimatnya.

Aku berdecak sambil menggeleng. Adikku yang sempurna, kini benar-benar sudah berubah menjadi sosok yang luar biasa. Sudah 1 jam kami saling bercerita tentang satu sama lain. Adine menceritakan banyak hal termasuk Adrian, sempat memang rasanya sakit mengetahui bahwa lelaki yang kucintai ternyata sangat-sangat mencintai adikku sendiri.

Adine mengatakan bahwa mereka berdua telah bertunangan dan dengan sangat pintarnya aku langsung mengalihkan pembicaraan kami. Aku tidak kuat. Untuk saat ini aku masih mencintai Adrian.

"Kau sangat hebat. Saat ini kau sudah menjadi salah satu model terlaris didunia," ujarku.

Adine tersenyum mendengar pujianku. Lalu kepalanya menggeleng pelan.

"Dibalik sebuah kesuksesan pasti ada hal yang dikorbankan." Adine bergumam sekilas aku melihat matanya memancarkan kepedihan. Entah apapun itu, aku merasa ada yang aneh.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku padanya dan dia hanya menjawabku dengan gelengan.

"Maafkan Adrian yah kak, jangan membencinya. Dia tidak sepenuhnya salah."

Aku mengangguk mengerti.

||..||..||..||

"Ada apa lagi?" tanyaku sebal pada Adrian yang berdiri dihadapanku dengan wajah datarnya.

"Mom mencarimu. Besok kita akan mengunjungi mereka," jawabnya dengan tampang datar miliknya.

Aku menggeleng. Bertemu dengan ibunya sama saja memperpanjang hubungan kami. "Katakan saja tentang hubungan kita yang sebenarnya," tandasku.

Adrian melebarkan kedua bola matanya.

"Tidak segampang itu. Usia pernikahan kita baru 2 bulan. Kalau tiba-tiba kita membeberkan kebenaran hubungan kita, maka reputasiku akan jatuh." Adrian menyuarakkan protesannya. Aku menggeleng pelan. Dia masih saja memikirkan reputasinya, dirinya, dia benar-benar egois.

"Lagipula, kontrak kita masih berjalan. Paling cepat kontrak kita berakhir di dua tahun yang mendatang," lanjutnya membuatku bungkam.

Aku menenggak salivaku sulit. Benar, kami menikah karena kontrak. Aku mana bisa melawan hukum. 2 tahun? Mungkin setiap harinya aku akan merasakan tekanan batin.

"Tapi, apa yang bisa kita pertahankan dipernikahan kita. Semuanya palsu, sandiwara yang lucu, aku benci semua ini," ujarku. Aku terdiam sebentar, lalu kembali membuka mulutku. "Bahkan cintapun palsu," lanjutku dengan suara memelan. Rasa-rasanya ada sebuah tangan kokoh yang meremas jantungku membuat perih didalam sana.

Adrian mengedik bahunya tak peduli. "Aku akan menjemputmu nanti," titahnya seperti biasa.

Aku menghela napasku, sekarang aku sedang tidak ingin bertengkar atau beradu argumen yang sia-sia dengannya. Dan terpaksa aku menganggukkan kepalaku untuk mengakhiri pembicaraan kami berdua.

"Dimana sekarang kau tinggal?" tanya Adrian lagi.

"Wilayah apartemen Ketris, block B, nomor 4," jelasku singkat.

Mendengar jawabanku Adrian malah mengangkat salah satu alisnya. Apanya yang salah?

"Bukannya, itu rumah Agas?"

Bodohnya aku. Sudahlah. Sudah terlanjur. Aku tak mungkin menarik kembali perkataanku tadi.

Melihatku tak mengelak Adrian tersenyum miring. "Kenapa kau tinggal bersamanya?" tanyanya dengan nada sinisnya. "Ingin mengambil keuntungan darinya, eh?" Lanjutnya kejam. Aku hanya bisa mengubur dalam-dalam rasa sesak itu. Hingga saat ini Adrian masih mengira aku wanita murahan?

"Jaga omonganmu." Suaraku terdengar seperti cicitan kecil yang tidak berguna. "Bisakah kau berhenti berpikir negatif tentangku?" Itu bukan pertanyaan, melainkan permohonan. Aku ingin Adrian tidak lagi salah paham akanku.
Tidak lagi mengambil kesimpulan sendiri atasku.

Adrian terkikik geli. "Faktanya memang begitu," sahutnya. Ia memasukkan kedua tangannya kesaku celananya.

Aku tersenyum tipis, sampai kapan pun Adrian akan selalu begini.

||..||..||..||

"Apa hubunganmu dengan Agas?" tanya Adrian memecahkan keheningan didalam mobil.

"Kakak, adik, mungkin?" sahutku padanya tak yakin. Selama ini aku dan Agas tinggal serumah, tetapi kami jarang bertemu karena Agas juga sibuk di rumah sakit mengurus pekerjaannya. Jadi, sampai saat ini pun aku tidak tahu pasti mau dinamai apa hubungan kami.

Adrian tersenyum miring. Matanya masih fokus menatap kedepan.

"Kakak? Tapi kelihatannya lebih dari itu," ujarnya dengan nada sinis.

Aku mengedik bahu tak peduli dan memilih membuang pandangku kearah luar kaca mobil yang menampilkan langit mendung dan jalanan macet.

Kira-kira berapa lama lagi kami akan sampai kerumah orang tua Adrian? Aku sudah tidak tahan berduaan dengannya seperti ini. Aku merasa konyol sedari tadi mencuri-curi pandang kearahnya.

"Jangan terlalu dekat dengan Agas." Ada nada perintah dari balik suara datar Adrian. Aku bergidik ngeri, apa maksudnya melarang-larang? "Aku tidak suka," sambungnya lagi. Matanya menajam dan laju mobil mengalami peningkatan. Ini macet dan dia masih berani membawa mobil dengan laju. Beberapa kali aku tersentak kedepan karena mobil yang mendadak berhenti karena di rem oleh Adrian.

"Pelan-pelan Adrian!" pekikku sambil mengelus dadaku, jantungku rasanya hampir copot.

"Jangan dekat-dekat lagi pada Agas. tinggalah dirumahku," kembali dia mengeluarkan suara dinginnya itu. Dan kali ini lebih tajam dan penuh penekanan dari sebelumnya.

Aku mendengus. Dia pikir dia siapa bisa mengaturku? "Apa hakmu?" tanyaku santai dan sepertinya perkataanku barusan sudah berhasil menjadi sebuah telakkan tersendiri bagi Adrian.

Adrian berdecak tampak sangat tak suka dengan pertanyaanku. "Aku suamimu," ujarnya tanpa sedikit pun merasa aneh atau salah setelah mengucapkannya.

Aku memejamkan mataku sekilas. Dia masih juga bisa mengatakan hal itu. Dengan satu tarikan napas panjang aku menyahutnya. "Ya, tapi diatas kertas," ujarku pelan, lalu terdiam beberapa saat "dan diatas dendam," lanjutku lagi yang kali ini lebih seperti bisikan untuk diriku sendiri.

Adrian melirikku sebentar. Dan dia bergumam pelan. "Terserah apa katamu, tetapi satu hal, aku tidak suka melihatmu dekat dengan Agas. Jangan lagi kau bersamanya," tandasnya.

Aku menggeleng sambil terkekeh kecil. Kalau aku tidak bersama Agas, lalu aku harus bersama siapa? Untuk saat ini Agas satu-satunya orang yang mau menolongku, bahkan membiarkanku tinggal dirumahnya, padahal aku bukan siapa-siapanya.

"Kau sama sekali tidak berhak melarang-larang dan memerintahku." Cukup sudah Adrian bertindak semaunya. Aku lelah dengan sosoknya yang terus-menerus menekanku, memerintahku, dan mengaturku. Padahal kurasa dendamnya itu sudah terbalaskan. Aku sudah benar-benar sakit hati akannya.

Adrian kembali melirikku lagi."Kau milikku Valencia. Kau milikku," katanya.

||..||..||..||

Thanks for read this. Don forget to vote, follow, and comment.

(Done)

Billionare's Wife (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang