4. Pernikahan (Valencia)

149K 9.5K 54
                                    

Senyum itu tampak tulus tapi ternyata mengandung bulus.

||..||..||..||

Aku menjatuhkan tas kerjaku begitu saja diatas sofa rumah. Mataku bergerak liar mencari keberadaan lelaki yang kuanggap ayah itu.

Kakiku melangkah pelan menaiki anak tangga menuju ruang kerjanya. Jantungku berpacu begitu cepat karena kegugupan yang kurasakan.

Dengan pelan jemariku meraih ganggang pintu tersebut dan mendorongnya kebawah dan kedepan.

Tampak ayahku sedang duduk santai dikursi kerjanya sambil sibuk memainkan ponselnya.

Aku menarik napasku dalam, mempersiapkan diri dari segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Pa," panggilku padanya. Aku masih tetap berdiri diambang pintu. Rasanya sangat enggan bagiku untuk masuk kedalamnya, apalagi merasakan aura kelam dan ketidaksukaan ayah padaku yang menguar kemana-mana.

Ia mengangkat kepalanya menampakkan wajahnya yang masih terlihat tampan, walau sudah termakan usia. Menyisakkan beberapa guratan dibagian mata dan didekat sudut bibirnya.

"Ada apa?" tanyanya datar dengan mengangkat salah satu alisnya.

Aku berdehem berusaha menetralkan kegugupanku. "A... aku a... akan menikah lusa pa. A... aku mau papa ya... yang menemaniku u... untuk kealtar nan... nanti," jelasku terbata-bata, mataku menatap harap pada dirinya.

Ia tersenyum miring. "Siapa pria bodoh yang mau menikahimu?" tanyanya sinis dengan tatapan merendahkannya pada diriku.

Aku menunduk dalam. Sebenci itukah ayahku padaku? Padahal aku tak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. Entah seperti apa sebenarnya takdirku.

"Adrian Revano," jawabku dengan suara kecil, namun aku pastikan ayahku dapat mendengarnya karena rumah memang benar-benar dalam keadaan sunyi.

Ayahku tertawa dengan kerasnya. "Apa kau sedang bercanda?" tanyanya sambil menyipitkan matanya karena tawanya.

Aku menggeleng kuat. Aku tidak sedang bercanda. Aku serius.

Ayahku menghentikan tawanya dan menatapku curiga. "Apa kau hamil?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng kuat. Mana mungkin aku hamil, berhubungan intim saja tidak pernah.

"Atau kau sudah menjual dirimu pada anak pertama Revano tersebut?" tanya ayahku lagi.

Aku menggeleng ragu. Aku menjual diriku pada Adrian? Sepertinya, jawabannya iya, karena aku akan menerima uangnya setelah menikah dengannya.

Ayahku tersenyum miring. "Aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan hingga pria tampan, kaya dan jenius itu mau padamu, tetapi tenang saja aku akan datang karena aku tidak mau keluarga revano berprasangka buruk dengan keluarga Goddard," ujar ayahku santai dan kembali menatap kearah ponselnya.

"Setelah kau menikah nanti bawalah sekalian ibumu itu dan jangan kembali lagi kesini, kecuali keluarga Revano yang mau bertamu," lanjut ayahku kejam. kemudian, ia tak lagi menganggap diriku ada diruangannya. Seakan-akan aku sudah pergi dam tidak ada lagi dihadapannya.

Aku menghembuskan napasku pasrah. Sebenarnya aku ini apa dimatanya? Mungkin hanya sekedar parasit dihidupnya.

||..||..||..||

Aku memandang kosong pantulan diriku dicermin besar yang ada dihadapanku. Cantik. Tentu saja, salon ternama dan terkenal di New Yorklah yang mendandaniku. Lumayan glamour dan bling-bling, tapi tetap tampak elegan dan santai.

Aku mengangkat sudut bibirku, membentuk senyuman miring. Terlihat sangat menakjubkan. Orang diluar sana mungkin akan iri padaku nantinya.

Adrian membuka sedikit pintu ruang make upku. Kepalanya menyembul dari balik pintu.

"Jangan lupa tersenyum, bertindaklah seperti pengantin yang berbahagia. Jangan berlaku bodoh," ujarnya pelan dan setelahnya kembali menutup pintu, hilang entah kemana.

Dia mengingatkanku bahwa kami harus bertindak layaknya benar-benar sepasang kekasih. Dalam keadaan bahagia dan sebentar lagi akan menempuh hidup baru yang kami dambakan.

Aku mendesah lelah. Ini pilihanku. Aku tidak bisa lari dari semua ini. Aku tersenyum lebar, menyipitkan kedua mataku. Senyum yang tampak sangat nyata. Ini hari pernikahanku, walau palsu aku tetap harus senang.

||..||..||..||

Adrian berdiri dengan gagahnya diatas altar putih pernikahan kami. Ayahku menggandeng tanganku menyusuri karpet merah.

Semuanya berjalan cepat. Kami sudah menikah. Kami sudah menjadi sepasang suami istri. Sebuah perasaan khawatir mulai mengerubungi pikiranku. Aku takut. Aku takut kalau aku sudah salah melangkah. Aku takut bila sekarang aku sudah mendekat kearah jurang kehidupku. Aku takut kalau kebahagianku sudah tidak ada lagi.

||..||..||..||

Thanks for read this. Jan lupa vote, comment, dan follow.

(Done)

Billionare's Wife (COMPLETED)Where stories live. Discover now