33. Jangan Tinggalkan(Valencia)

88.8K 5.6K 105
                                    

Ketakutan yang memenuhi diri bisa menjadi penghalang terbesar dalam kebahagiaan.

||..||..||..||

Aku merasa tubuhku limbung. Adrian, pria tampan dan gila yang kucintai itu telah tiada? Tidak, tidak mungkin. Adrian tidak boleh meninggal! dia tidak boleh meninggalkanku. Aku rela bila harus melihatnya mencintai Adine. Aku rela bila dia berusaha kembali menyakitiku dengan berbagai taktiknya itu. Tidak masalah! Asalkan dia masih hidup. Bernapas. Dan aku bisa memandanginya setiap hari.

"Dok, dokter pasti salah Adrian. A... A... Adrian ti... tidak...."

Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Air mataku merembes keluar dengan begitu cepat. Randon memegang bahuku. Ia mengeratkannya seakan sedang berusaha memberiku kekuatan dari remasan lembutnya.

Aku menarik napasku dalam-dalam. Aku tak bisa menerima kenyataan ini. Astaga, apa yang harus kulakukan dengan anak kami?

"Adrian tidak mungkin meninggal," tandasku dengan sekali hembusan. Mataku menatap tajam kearah dokter yang begitu cerobohnya mengatakan bahwa suamiku telah tiada.

Tunggu.

Kenapa dokter itu malah memerengkan kepalanya dan menautkan alisnya seakan aku baru saja bertingkah bodoh? Lalu, kenapa suster dibelakangnya tersenyum tipis? oh ya ampun, tak tau kah mereka bahwa aku adalah istri yang sedang mengandung dan ditinggal mati suaminya?

"Kami tidak mengatakan itu nyonyan," kata suster itu dengan senyumannya yang melebar.

Maksudnya?

Apa yang diinginkan dokter sialan ini? Dia berlagak begitu santai dan liat saja aku akan segera menuntutnya karena tak bisa menyelamatkan nyawa ayah dari kandunganku.

"Tuan Adrian tidak meninggal."

Aku membelalakkan mataku. A... Adrian tidak meninggal?

"Kami sudah berusaha sebisa kami, tetapi tuan Adrian kehilangan darah yang cukup banyak hingga tak sadarkan diri"

Aku merasa kakiku begitu lemas. Aku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Jika saja Randon tidak memegangku saat ini, mungkin aku sudah jatuh kelantai.

||..||..||..||

"Kamu perlu istirahat, Nak," ujar ayahku mengingatkan. Aku mengangguk dan melirik kantung plastik putih yang ayahku bawa. Dia meletakkannya pada meja samping kiri Adrian.

"Dia pasti akan segera sembuh," ujar ayah mantap sambil memandang Adrian yang terbaring kaku dengan berbagai alat-alat medis yang menempel pada tubuhnya sebagai penunjang hidupnya.

"Ayah," gumamku serak. Ayahku mendekat kearahku. Memelukku dengan erat.

"Dia akan baik-baik saja," lagi ayahku berkata.

Aku mengangguk.

"Jaga kesehatanmu, Valencia. beristirahat dan makanlah. Kau tahu bahwa sekarang kau bukan hanya sedang mengurus dirimu sendiri lagi, tetapi juga bayi dalam kandunganmu."

Aku tersentak mendengar ucapan ayahku.

"Ayah tahu dari mana?" tanyaku gugup. Apa ayahku akan marah? Apa dia akan mengira aku adalah anak tidak tahu diri--yang bergaul dengan orang sembarangan hingga hamil, padahal pernikahanku saja belum selesai urusan?

Ayahku tersenyum kecut. "Dari suamimu," jawabnya.

Aku terdiam. Adrian mengatakan pada ayah. Untuk apa dia melakukannya?

"Val, ayah tahu kamu sulit untuk melupakan kesalahan masa lalu Adrian tapi sekarang dia sudah berubah," ujar ayah sambil mengelus pundakku.

Berubah?

"Tiga hari yang lalu dia menemui Ayah. Ya sebenarnya, kedatangannya kerumah itu untuk menemuimu, tetapi kamu sedang makan malam bersama Randon. Adrian menjelaskan semuanya. Dia juga mengatakan bahwa dia telah menghamilimu dalam keadaan mabuk."

Aku menggigit bibir bawahku. Haruskah dia menceritakan pada ayah juga bahwa terjadinya bayi kami itu karena ketidak sadarannya? Saat ia dibawah pengaruh alkohol.

"Ayah yang menghajarnya, makanya wajah dan tubuhnya memar," jelas ayahku.

Aku membuka bibirku kecil. Jadi? Ayah yang melakukannya?

"Dia menceritakan pada ayah segalanya, entahlah apa itu sebuah kejujuran atau kebohongan, tetapi melihat keberaniannya mengakui hal tersebut membuat ayah menyimpulkan bahwa dia mengatakan yang sebenarnya. Dia sudah berubah, Nak," ujar ayah lagi.

Apa itu benar?

"Valencia, cobalah untuk percaya. Berikan kesempatan kedua pada Adrian. Jangan terpaku pada masa lalumu dan ketakutanmu. Ayah jamin Adrian sudah benar-benar tidak memiliki perasaan lagi pada Adine."

Aku menghela napasku. Aku takut. Takut untuk kembali membiarkan Adrian memasuki kehidupanku. Aku takut dia merjarela dan kembali mempengaruhiku. Aku takut terlalu membawa hatiku dan kemudian kembali dihancurkan. Aku ingin hidup tanpa terbayang dengan segala kengerian itu. Tetapi, disatu sisi aku juga mencintai Adrian. Masih sama kadarnya seperti dulu bahkan sekarang semakin bertambah.

"Pikirkan baik-baik, Nak," ucap ayahku sembari memberi senyum menenangkannya, lalu mengacak rambutku sembarang.

"Jaga kesehetamu. Ayah mau kembali kekantor dulu," pamit ayahku.

Aku mengangguk mengiyakan. Setelah melihat ayahku keluar dari pintu, aku kembali menatap Adrian yang masih tidak bergerak sama sekali.

"Adrian," panggilku padanya. Aku tidak begitu yakin Adrian bisa mendengarku. Tetapi, karena dorongan dalam diriku, aku jadi sering mengajaknya bicara selama 2 hari ini.

"Kapan kau akan bangun? Aku lelah," ujarku. Adrian masih diam. Matanya yang biasanya selalu menimbulkan getaran aneh dalam diriku kini tertutup begitu rapat. Dan membuatku takut bila mata itu tidak lagi terbuka. Juga bibirnya yang sering sekali menunjukkan senyum akhir-akhri ini, tampak membentuk garis lurus.

"Kau bilang ingin menyelesaikan proyek bersama, tetapi kau malah tidur seperti ini." Aku mendengus kesal diakhir kalimatku.

"Kau berlagak tidak ingin melepaskanku. Mengatakan kau mencintaiku dan takkan pernah membiarkanku pergi darimu. Dan sekarang kau sendiri yang malah tampak ingin meninggalkanku," cibirku.

"Apa kau masih membenciku?"

Sungguh, aku belum bisa mempercayai kata-kata ayah. Tetapi, hatiku terusik. Aku ingin tahu kebenarannya. Apakah Adrian sudah tidak membenciku? Jika iya, aku akan sangat bersyukur atas hal itu.

Aku meraih tangan Adrian. Menggenggam tangannya erat. Menyematkan jemariku disela-sela jemarinya.

"Aku masih mencintaimu," ucapku, lalu terkekeh kecil.

"Sadarlah dan cepatlah jawab pertanyaanku. Aku tidak mau terlalu lama memusingkan ini semua," ujarku lagi.

Aku membuang pandanganku pada pemandangan diluar jendela. Matahari hampir tenggelam.

Aku merasa ada pergerakkan pada tanganku. Jari telunjuk Adrian bergerak pelan.

Adrian sadar.

"Dokter!" teriakku keras-keras.


Maaf, sebagian part sudah dihapus. Temukan Billionare's Wife di toko-toko buku kotamu! Terima kasih :)

Billionare's Wife (COMPLETED)Where stories live. Discover now