9. Kamu? (Valencia)

136K 8.7K 28
                                    

Masa lalu yang kembali akan membuka lembaran kusam lagi.

||..||..||..||

Aku menilik semua pakaian yang ada dilemariku. Lengkap. Sangat-sangat lengkap malah. Mulai dari baju rumah sampai baju untuk pesta, kecuali baju murah.

Melihat semua kemewahan yang kudapat, ini bagai mimpi. Memang keluargaku juga tidak kalah kaya, tetapi mana ada yang peduli akanku. Didalam keluargaku mereka mengganggapku tak ada. Segala kebutuhan dan keinginan yang kupunya hanya bisa kupendam dalam-dalam dan bekerja keras hingga dapat membuatnya nyata.

Dan sekarang aku sudah menikah dengan Adrian Revano, seorang miliyarder nomor satu di Amerika. Segala keinginan dan kebutuhanku terpenuhi bahkan berlebih. Hanya saja tetap ada yang tidak berubah, yaitu kekosongan.

Aku menghela napasku dalam-dalam. Dengan asal aku mengangambil gaun bewarna hitam dan high heels hitam 5 cm. Kurasa pakaian ini cocok untukku jalan bersama Adrian nanti malam.

||..||..||..||

"Kau mau pesan apa?"  tanya Adrian lembut layaknya seorang kekasih yang sangat perhatian pada pasangannya.

Ohh, kenapa aku malah berpikiran seperti itu? Dasar bodoh.

"Terserah," jawabku singkat.

Seorang gadis cantik datang kemeja kami dengan menenteng sebuah note juga pulpen berwarna biru. Ia tersenyum dengan manisnya pada kami berdua, ralat, maksudku pada Adrian. Dan lihatlah Adrian malah memasang wajah tak pedulinya itu. Aku jadi curiga bila Adrian tidak lagi menyukai lawan jenisnya. Jika itu benar, maka akan sangat-sangat menjijikkan.

"Ingin pesan apa, Tuan, Nyonya?"

Aku melirik kearah Adrian. Gadis cantik tadi mengangkat alisnya tinggi menunggu jawaban dari kami berdua. Sayang sekali ia hanya menjadi seorang pelayan. Aku yakin banyak serigala bajingan kaya raya diluar sana yang ingin menggunakannya diatas tempat tidur mereka. Nama gadis itu, Elisa Sasya tampak jelas diname tag dadanya. Nama yang bagus.

"Cumi-cumi bakarnya dua, dan...." Adrian mengalihkan padangannya kearahku. "Kau mau minum apa?" tanyanya padaku.

Aku melebarkan kedua mataku. "Samain aja," jawabku cepat. Aku tidak menyangka bahwa Adrian akan menanyakan apa yang ingin kuminum, dan sekarang jantungku kembali berdetak kencang.

"Sama kopi latte nya dua juga. Tolong cepat," ujar Adrian santai, lalu setelahnya ia malah sibuk dengan ponsel canggihnya itu. Aku berdecak melihat tingkah acuh tak acuhnya itu.

"Baiklah. terima kasih," ucap gadis bernama Elisa itu sambil membungkukkan badannya dan tersenyum sopan kearahku. Yah, kali ini gadis cantik itu tersenyum padaku, bukan lagi pada Adrian yang sudah sibuk dengan benda matinya itu.

Aku membalas senyumnya, kemudian ia pergi melenggang kedalam ruangan yang aku pikir mungkin dapur.

Entah apa yang terjadi pada perutku, tiba-tiba saja aku merasa ada yang melilit didalamnya.

"A... A... Adrian," panggilku padanya.

Adrian bergumam menjawabku tanpa mengalihkan kedua matanya dari benda mati pipih itu. Aku mendesis menahan sakit yang tambah menjadi dalam perutku. Apa maag ku kambuh?.

"Dimana toilet?" tanyaku lagi padanya. Rasa mual mulai timbul dan membuatku ingin segera memuntahkan segala hal yang ada dalam perutku. Adrian menengadah dan menautkan kedua alisnya ketika mendapati wajahku yang pucat.

"Ada apa?" tanyanya dengan wajah menyeledik.

"Entahlah, sepertinya maagku kambuh," jawabku. Dahiku terkerut dan pandanganku mulai memudar. Ada apa ini? Bukankah, maagku sudah kuobati? Atau dokter tampan itu memberikanku obat yang salah? Ah sialan.

Aku meringis pelan, menahan sakit yang semakin menjadi dalam perutku.

"Sebaiknya kita kerumah sakit," usul Adrian. Ia kemudian ikut bangkit dan memegang pundakku untuk segera membawaku kerumah sakit. Dan entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya, yang pasti kegelapan telah mengelilingiku dan membawaku terbang kedalamnya.

||..||..||..||

"Sudah sadar?" tanya sebuah suara.

Aku terdiam dan menarik napasku dalam-dalam. dia, siapa namanya? Si dokter tampan yang banyak tanya. Oh ya, Agas aku mengingatnya.

"Ya," balasku singkat. Dia menganggukkan kepalanya. Tampilannya sama persis seperti kemaren hanya terlihat lebih tampan dan seksi? Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

"Maag yang kau alami sudah sangat parah. penyakit ini bisa saja membahayakanmu dan menghilangkan nyawamu."

Aku mengerut keningku mendengarnya berbicara. Aku tidak peduli dengan apapun yang dia katakan. Aku sama sekali tidak ambil pusing masalah penyakit maagku. Aku hanya merasa bingung serta penasaran dengan seorang yang telah membawaku kesini. Mungkinkah Adrian? Bukankah terakhir kali aku sadar aku sedang bersama-sama dengannya? Lalu, kalau memang Adrian yang membawaku, dimana sekarang pria itu?

"Tapi, untuk kali ini bukan aku yang merawatmu karena aku sedang banyak urusan dan yang akan mengurusmu adalah dokter baru," jelas Agas. Aku berdecak acuh. Mataku bergerak liar menatap kesekeliling. Seperti de javu rasanya, kemaren aku juga berada disini dan sekarang kembali berada disini.

"Baiklah aku pergi dulu. Jaga kesehatanmu baik-baik. Jika kau membutuhkan sesuatu tekan saja tombol darurat disamping ranjangmu itu." Agas menunjuk sebuah lingkaran hitam yang menempel didinding yang berada disisi ranjangku. Aku mengangguk mengerti.

"Dan ibumu baik-baik saja," lanjutnya lagi.

Aku tersenyum kecil. Beberapa hari ini aku belum mengunjunginya disana.

"Terima kasih," ucapku tulus. Agas mengangguk dan kemudian berjalan keluar meninggalkan ruang inapku.

||..||..||..||

Aku bosan, sangat bosan. Tidak ada seorangpun yang datang untuk menjengukku. Hanya perawat-perawat tua yang terus saja mondar-mandir keluar masuk ruanganku untuk memberi obat, makanan dan memeriksaku.

Tunggu, memangnya siapa yang kuharapkan untuk mengunjungiku? Adrian? Mana mungkin, dia pasti sedang sibuk dengan berkas-berkasnya, atau dengan ponsel canggihnya, bisa juga dia sedang sibuk dengan gadis-gadisnya. Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku sakit.

Jono? Entahlah, pria kesayanganku itu tampak seperti ditelan bumi. Semenjak kejadian pertengkaran itu, aku sudah tidak lagi mendapatinya berada disekitarku, padahal biasanya dialah yang menemani hari-hari beratku. Jono, aku benar-benar merindukannya.

Ayahku? Oh mungkin saja bila ini adalah kiamat.

Krek

Suara pintu terbuka. Itu pasti para perawat tua yang akan memaksaku minum obat pahit, atau makan bubur encer, atau bisa juga memeriksaku dengan muka cemberut mereka yang tidak enak dipandang itu.

Dengan perlahan aku menarik tubuhku keatas agar bisa terduduk diatas ranjang rumah sakit. Bantal putih yang sedari tadi menjadi senderan kepalaku kini kutaroh diatas pahaku.

Tuk tuk

Suara ketukan sepatu terdengar jelas diindra pendengarku. Aku menatap seorang yang baru saja membuka pintu dan memasuki ruangan rawat inapku.

Mataku terbelalak lebar dan tubuhku bergetar. Jantungku langsung berdegup begitu kencang didalam sana sama seerti dulu.

"Re... Re... Rendi?"

||..||..||..||

Thanks for read this. Jan lupa vote, follow, dan comment.

(Done)

Billionare's Wife (COMPLETED)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora