15. Tak Peduli (Adrian)

130K 8.8K 38
                                    

Kehilangan bukanlah suatu hal yang indah.

||..||..||..||

"Jadi kamu?" tanya Adine menggantung.

Aku mengangguk mantap. Aku gila dan aku tahu itu. Setelah menghancurkan hati Valencia, sekarang aku malah mematahkan hati Adine.

Adine tersenyum tenang. Perawakannya sama seperti Valencia, tetapi Adine terlihat lebih anggun. Mungkin karena faktor kesuksesannya yang semakin melejit didunia permodelan membuatnya harus selalu tampil luar biasa dimana saja.

"Awalnya aku marah padamu, kamu seharusnya tidak begitu saja memercayai Rendi. Aku yang salah, bukan kakakku dan kamu malah membalas dendam tanpa menanyakan aku dulu," ujarnya sambil menatapku dalam.

Aku menghela napas lega, tadinya aku kira Adine tidak akan mau menerima penjelasanku dan akan marah serta melakukan sesuatu yang kutakutkan.

"Jadi, kamu tidak membenci kakakmu?" tanyaku padanya.

"Ya, aku sudah mengatakannya padamu, bukan? Aku sama sekali tidak membenci kakakku. Aku menyayanginya. Aku meghilang karena aku pikir dengan kepergianku kak Valencia akan memiliki kebidupan yang lebih harmonis. Tetapi, ternyata tidak. Lagipula, aku sudah tahu semuanya. Adikmu sudah lebih dulu menceritakan segalanya padaku," jawab Adine tenang.

Aku berdecih tak suka. Kenapa Joshua harus memberi tahu Adine juga? Apa maunya dia? Apa dia ingin aku terihat sangat buruk dimata Adine juga?

"Aku rela kita berakhir. Memang benar aku begitu mencintaimu. Tetapi rasa sayangku terhadap kakakku lebih besar dari rasa cintaku," ujar Adine dengan senyumnya yang mengembang.

Dia berbohong. Aku dapat menangkap kepahitan didalam pupil matanya.

"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Adine.

Aku mengerut keningku bingung.

"Apanya yang bagaimana?" tanyaku membalas pertanyaanya.

Adine terkekeh kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Pernikahan kalian?" lanjutnya.

Aku terdiam cukup lama.

Seperginya Joshua pagi tadi aku langsung saja merobek-robek surat gugatan cerai itu. Aku tidak terima. Aku tidak ingin Valencia pergi dariku. Aku ingin dia bersamaku dan astaga apa aku mencintainya?

"Kamu mencintainya Drian," Adine berujar memotong jalan pikiranku. Seperti biasanya, ia sangat tahu apa yang ada dalam kepalaku.

"Kamu tidak pernah terlihat semurung saat ini. Bahkan pekerjaanmu yang dulunya hampir diambang kehancuran tidak membuatmu sampai seperti ini. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa kamu begitu mencintai kakakku," tandas Adine.

Adine begitu santai mengucapkannya. Ia bertindak seolah-olah ia biasa saja. Dan ia sangat pintar menyembunyikan raut kesedihannya. Padahal, aku tahu bahwa dia begitu terluka sekarang.

"A... aku tidak mencintai kakakmu. Aku mencintaimu," sahutku cepat.

Itu kebohongan. Aku sudah tidak merasakan getaran-getaran itu lagi sekarang. Adine terasa asing bagiku. Tetapi, aku mana berani mengakui perasaanku padanya, aku takut dia semakin sakit hati. Adine adalah wanita yang sangat berharga bagiku selama 4 tahun belakangan ini.

Adine menggelengkan kepalanya. "Jangan berbohong," ucapnya.

"Aku tidak suka pembohong. Kamu tahu aku sangat-sangat tidak bisa mengampuni orang yang berbohong padaku, sekalipun itu semua untuk kebahagiaanku," lanjutnya lagi.

Aku hanya bisa diam membatu. Aku tidak lagi mengerti harus menjawabnya apa.

Kami terdiam cukup lama lagi. Hingga, tiba-tiba saja Adine menarik napasnya dalam-dalam dan menatapku lekat-lekat.

"Sampai sekarang apa kamu masih terus saja memikirkan kakakku?" tanya Adine.

Aku menutup mulutku rapat-rapat sama sekali tidak berniat menyahuti pertanyaanya. Aku ingin sekali menggeleng, tetapi itu sama saja aku kembali mencoba untuk membohonginya. Adine selalu tabu saat dimana bohong ataupun jujur padanya.

Aku benci keadaan ini!

Adine tersenyum kecil ketika tidak juga mendapatkan jawaban dariku.

"Kau tidak menjawab sama saja jawabannya iya. Tidak masalah, pria didunia ini kan bukan dirimu saja. Jadi... jangan merasa bersalah," katanya akhirnya.

||..||..||..||

"Tolong beritahu dia untuk secepatnya kembali bekerja karena masa cutinya telah habis," ucapku dengan penuh penekanan. Emy, sekretarisku dengan sigap mengangguk dan mengangkat ganggang telpon. Jemari lentiknya menekan beberapa angka.

"Halo, Valencia," ujar Emy ketika ganggang telpon itu sudah menempel ditelinga kirinya.

Tanpa sadar, aku tersenyum. Valencia akan segera kembali kehadapanku.

"Ya, kau harus segera kembali bekerja karena masa cutimu telah habis," lanjut Emy.

Lalu tiba-tiba saja, alis wanita itu tertaut. Aku jadi penasaran dengan jawaban Valencia. Aku yakin gadis itu tidak langsung mengiyakan permintaan Emy. Aku jadi ingin merampas telpon itu dan langsung berbicara padanya, tetapi aku tahu dia pasti tidak akan mau berbicara denganku.

"A... apa mengundurkan diri, kau mau keluar dari perusahaan ini?" tanya Emy pada seorang yang tengah tersambung telpon dengannya. Suaranya terdengar cemas dan ia sambil mencuri-curi pandang kearahku.

Aku menggeleng mengingatkannya. Berusaha mengkodenya bahwa aku tidak terima atas pengunduran diri Valencia.

Emy mengangguk sebagai jawaban bahwa dia mengerti maksudku.

"Tidak bisa Valencia, i... ini sudah peraturannya. Jika kau melanggar, kau bisa terkena denda dan sanksi" ucap Emy.

Aku tersenyum miring. Valencia, aku tidak akan melepaskanmu.

||..||..||..||

Thanks for read this. Dont forget to vote, comment, and follow.

(Done)

Billionare's Wife (COMPLETED)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora