10. Yakinkah? (Valencia)

130K 8.6K 75
                                    

Antara tertawa atau menangis, apakah kedua hal itu bisa dilakukan berbalikan?

||..||..||..||

Aku mohon bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Aku membencinya. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Dan bodohnta kenapa aku masih gugup seperti dulu? Ini sangat memalukan dan memuakkan.

"Valencia." Suara maskulinnya memasuki indra pendengaranku membuat semua bulu kudukku berdiri ketakutan. Aku tidak mau. Aku tidak mau hal itu terjadi lagi. Aku tidak mau kenangan buruk itu kembali lagi.

"Kau pasien yang terkena maag parah itu?" tanyanya dengan seringainya yang menyeramkan. Aku hanya bisa menenggak salivaku dengan paksa dan menatapnya dengan pandangan horor.

"Kenapa kau tidak mati saja?" lanjutnya lagi. Lalu, berjalan mendekatiku. Bisakah aku membalas perkataannya? Aku juga sudah sangat lama menginginkan kematian.

"Kau masih sama seperti dulu. Cantik," ujarnya dengan senyum mengejeknya. "Tapi busuk," lanjutnya pelan. Kedua bola mata coklatnya melirik tajam kearahku. Oksigen disekitarku menghilang begitu saja membuatku sesak. Apa cinta itu masih ada untuknya?

"Rendi, apa yang kau lakukan?" tanya seseorang secara tiba-tiba dari belakang kami. Dia Adrian datang disaat yang tepat.

"Hey sobat, sudah lama tak bertemu. Sekitar tiga bulan yang lalu. Apa aku benar?" Rendi tersenyum miring. Ia melambaikan tangannya seakan menyapa kawan lama. Aku menaikkan alis kananku. Sobat? Maksudnya Adrian dan Rendi berteman?

"Apakah kau ingin membalas dendam karena wanitamu itu lebih memilihku?" tanya Adrian. Tidak itu bukan pertanyaan.

"Bukankah kau yang ingin membalas dendam, karena luka wanitamu?" Rendi tampak tersenyum senang ketika mengucapkan sepatah kalimatnya itu.

Aku seperti sebuah patung diantara mereka. Tidak dipedulikan dan hanya diam saja menontoni mereka.

"Sebaiknya kau pergi dari hadapanku dan Valencia. Dia istriku. Aku mencintainya dan aku tidak suma ada yang mengganggunya."

Aku membatu beberapa saat, setelah mendengar apa yang Adrian katakan. Lalu sehabis itu, seperti ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan dalam perutku. Aku berusaha untuk menahan senyumku, walaupun sebenarnya aku sangat bahagia. Dia mengakuiku sebagai istrinya dan mengatakan bahwa ia mencintaiku.

Rendi sedikit mengerut keningnya. Ia mengedik bahunya tak peduli sambil mengeluarkan kekehan merendahkannya.

"Aku tak percaya dengan apapun yang kau katakan. Tapi, terserahmu saja. Itu bukan urusanku," ujar Rendi dan melangkah keluar meninggalkan kami.

Aku mengalihkan pandanganku pada kedua bola mata hitam pekat milik Adrian. Aku mohon, jangan sampai semua ini hanya mimpi.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Adrian sambil mengelus rambutku lembut.

"A... a... aku baik-baik saja," jawabku terbata karena gugup. Aku merasa jantungku akan segera meloncat keluar bila Adrian terus-terusan berada sedekat ini denganku. Ditambah lagi, dengan tangan kokohnya yang mengelus rambutku lembut.

"Jangan melupakan makanmu. Aku tidak suka melihatmu sakit dan aku tidak mau kehilanganmu," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Tanpa sadar aku melongo. Membiarkan mulutku terbuka dan tampak seperti orang bodoh. Aku terlalu terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Adrian. Dan aku tak percaya jika semua ini nyata. Namun, sekalipun ini hanya mimpi, aku bersumpah akan membunuh siapa saja yang membangunkanku.

||..||..||..||

5 hari setelah insiden itu, kini aku sudah kembali kerumah. Selama 5 hari ini pula, sikap Adrian benar-benar berubah. Ia begitu baik padaku. Begitu menyayangiku. Aku tak tahu apakah itu benar atau hanya aku yang terlalu berlebihan. Tetapi semuanya terlihat tulus.

Rendi? Dia tidak pernah lagi muncul dihadapanku, entah kemana kepergiannya. Setahuku, Adrian meminta pihak rumah sakit agar menggantikan Rendi yang awalnya sebagai dokter untukku.

Kehidupanku berangsur-angsur indah. Aku sudah meneguhkan rasaku pada Adrian. Memang aneh, aku bisa jatuh cinta pada orang sepertinya. Mungkin karena mata hitam kelamnya itu?

"Kau sudah minum obatmu?" tanya Adrian mengintip dibalik pintu kamar.

Aku menggeleng menjawabnya. Aku menenggak salivaku berat, terpesona akan dirinya. Dia tampak tampan dengan rambutnya yang masih basah dan acak-acakan. Sepertinya, dia baru saja selesai mandi.

"Kenapa belum?" tanyanya lagi dan disusul dengan decakan malas diakhir kalimatnya. Kemudian, Adrian melangkah masuk. Ia mengambil obat-obatanku yang kuletakkan diatas meja rias.

"Minum," titahnya. Ia menyodorkan obat dan air putih yang baru saja dia ambil dari meja samping tempat tidurku.

Inilah yang tidak kusuka. Adrian selalu saja seperti ini. Dia selalu memaksaku untuk melakukan apa yang dia inginkan.

"Nanti saja," tolakku sambil bergeser menjauh dari Adrian atau lebih tepatnya menjauh dari obat-obatan pahit itu.

Adrian berdecak sebal. Mata hitam kelamnya menatapku tajam dan mengancam.

Akhirnya, aku hanya bisa menarik napasku dalam-dalam. Dengan berat hati aku mengambil obat dan air putih tersebut. Aku tidak tahan mendapatkan tatapan mengintimidasi Adrian. Jadi, lebih baik aku menuruti perkataannya. Dan menyiksa diriku sendiri dengan memaksa mulutku menyecap kembali obat-obatan memuakkan itu.

||..||..||..||

"Untuk apa kau mengajakku kesini?" tanyakku pada Jono.

Sekarang, aku sedang berada disalah satu cafe tengah kota. Aku bersama dengan Jono. Kemarin malam dia menelponku dan mengajakku bertemu. Aku langsung mengiyakannya. Selain karena aku ingin tahu apa yang ingin ia bicarakan, aku juga merindukannya.

"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan," jawabnya pelan.

Wajahnya tampak sangat serius. Aku bisa melihat pancaran kasihan dibalik pupil matanya dan ada arti terpendam dibalik senyum kecilnya.

"Kau hanya dipermainkan Adrian," ucapnya.

||..||..||..||

Thanks for read this. Jan lupa vote, follow, dan comment.

(Done)

Billionare's Wife (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang