Prolog

1.9K 136 24
                                    

Jika kalian bertanya apa yang paling Agatha benci di dunia ini, maka jawabannya sudah pasti: matahari. Dia memang tidak memiliki kelainan khusus seperti alergi atau sakit mendadak jika terkena sinar matahari, tidak. Hanya saja, sinar matahari yang terlalu terik pernah membuat sebuah insiden kebakaran hutan sepuluh tahun lalu ketika Agatha masih berusia tujuh tahun. Padahal, Agatha mengubur harta karunnya yakni perhiasan dalam sebuah kotak beludru cantik berlapiskan pita mungil warisan dari mendiang Ibunya tepat di tengah-tengah hutan kecil tersebut ketika ia sedang berkemah bersama teman-teman sekolah dasarnya. Agatha berniat untuk menggali kuburan kecil itu kelak ketika ia sudah menikah, hingga dia bisa mengenakan perhiasan-perhiasan warisan dari Ibunya di atas altar nanti. Namun, kemarau panjang merenggut semua rencananya.

Padahal, kenangan dari Ibunya hanyalah sekotak perhiasan itu. Tidak ada yang lain selain foto-foto lama yang kini telah mengendap dalam kardus penuh debu dengan sarang laba-laba yang menjuntai pada salah satu ruangan tak terpakai di rumahnya. Sebut saja gudang.

Dan sejak kejadian itu, Agatha sangat membenci matahari. Ia selalu berfikir, mengapa matahari harus bersinar se-terik itu? Mengapa tidak bersinar sewajarnya yang penting bumi tetap terang dan hangat. Seolah, memang matahari sengaja membuang satu-satunya peninggalan Ibu Agatha.

Penyesalan itu selalu menghantui Agatha. Ia tidak bisa berhenti meminta maaf di hadapan pusara Ibunya setiap Minggu pagi. Ia menangis, menceritakan betapa menyesalnya ia karena sudah se-bodoh itu mengubur benda paling berharga dalam hidupnya pada tanah hutan perkemahan di sudut Kota Seattle. Satu-satunya yang Agatha harapkan sampai saat ini masih sama, yaitu ia ingin sekali kotak tersebut kembali padanya. Utuh dengan isinya

***

Hari ini gadis dengan mata biru langit keabuan itu berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Mungkin lebih efektif jika ia naik bus atau taksi, namun karena Agatha merasa bangun terlalu pagi, jadi ia memutuskan untuk berangkat sekolah santai dengan berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga ringan. Agatha merupakan salah satu murid cerdas di sekolahnya. Ia sering mengikuti olimpiade baik di bidang akademik maupun non akademik. Agatha juga menjabat sebagai Wakil Dewan Murid atau yang biasa disebut OSIS, kecerdasannya dalam mengatur sebuah rencana atau strategi membuat orang-orang sampai menggeleng takjub. Agatha juga sangat pandai dalam bidang bela diri, ia selalu pulang membawa medali emas jika diturunkan dalam sebuah ajang perlombaan. Dan dari banyak sekali bidang bela diri yang Agatha kuasai, ia paling mahir dalam panah-memanah. Hampir tidak pernah meleset, oh, ralat. Mungkin memang tidak pernah meleset, sama seperti tebakan otak cerdasnya dalam memilih sesuatu.

Sosok gadis belia dengan banyak bakat seperti itu tentu saja menjadi incaran Kaum Adam baik dari yang culun berkacamata serta membawa buku-buku setebal gaban kemana-mana dengan baju yang dimasukkan begitu rapih, sampai Rajanya playboy yang terkenal dengan julukan one night stand dimana tidak ada gadis yang sanggup mengelakkan keahlian pria itu di atas ranjang. Namun, Agatha tidak pernah sekalipun melirik mereka. Agatha tidak pernah memberikan respon baik setiap pria-pria itu mendekatinya.

Ayahnya pernah bilang, jika ia mirip sekali dengan sosok Dewi Yunani di zaman kuno yang disebut Dewi perawan, atau terkenal sebagai Dewi Athena. Dewi perang, yang digambarkan dengan sosok perawan cantik berzirah besi membawa tombak yang panjang. Athena adalah sosok Dewi yang pandai dan bijaksana, sangat mirip dengan karakter Agatha. Namun, Agatha hanya menganggap itu sebagai angin lalu saja. Agatha adalah Agatha. Ia lumayan tidak setuju jika harus dibandingkan dengan orang lain, atau tokoh-tokoh terdahulu termasuk Dewi Athena.

Kembali pada Agatha yang masih asik berjalan kaki dengan telinga yang tersumpal earset putih serta dua buah buku sejarah yang diapit menggunakan lengannya. Gadis itu berjalan dengan santai sambil bersenandung, sesekali tersenyum pada pedagang roti yang memandangnya hangat atau Mam Erine si pemilik toko kue kecil pada persimpangan jalan yang sering sekali menyapanya dengan senyuman ramah. Pagi ini jalan raya masih terlihat sepi, hanya sesekali pengantar koran pagi lewat menggunakan sepeda bututnya serta suara klakson kring-kring yang nyaring di sepanjang jalan.

Agatha masih berjalan sampai ia mendapati eksistensi seorang pria bertubuh tinggi tegap tengah bersandar pada salah satu tiang lampu jalanan dengan kupluk jaket yang menutupi hampir seluruh profil samping wajahnya. Kening Agatha berkerut. Gadis itu hendak kembali berjalan tanpa perduli kalau saja pria tersebut justru tidak memutar tubuhnya hingga menghadap Agatha, membuat gadis itu terperanjat dan langkahnya seketika terhenti. Mata biru Agatha menatap sosok pria asing ini dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria itu terlihat baik-baik dengan balutan jaket dan celana jeans. Tidak mencerminkan bahwa ia adalah orang jahat. Namun melihat iris hazel nya yang kini menatap Agatha seolah ia adalah elang yang hendak memangsa, Agatha semakin was-was.

"Agatha Minerva. Benar?"

Sebelum menjawab, Agatha masih menatap lekat pada wajah pria asing itu. Bersiap melakukan penyerangan jika pria itu mulai bergerak mencurigakan. "Ya. Siapa kau?"

Pria itu menguap asal, lantas secara tiba-tiba mencengkram sebelah tangan Agatha. Agatha menggeliat, berusaha memberontak, namun ternyata pria ini cukup kuat untuk mengunci pergerakannya. Oh, jangan salah. Agatha ini pandai dalam bela diri. Oleh sebab itu, Agatha baru saja hendak melayangkan sebuah tendangan untuk menghantam perut pria tersebut namun semuanya gagal saat si pria mendorong keras tubuh Agatha hingga mereka berdua lenyap pada gang kecil yang kotor dan kumuh. Kasar sekali, pria itu membiarkan tubuh Agatha menghantam tembok, untuk kemudian ia pojokkan dengan tangan yang masih dicengkram erat.

Nafas Agatha menderu, gadis itu tidak bisa melakukan apa-apa saat tubuh pria tersebut semakin mendesaknya. Mendekat, hingga Agatha dapat merasakan deru nafas pria itu pada permukaan wajahnya. Agatha meneguk ludah, mata hazel itu benar-benar tajam, memandangnya tanpa belas kasih. "Aku akan akhiri ini dengan cepat. Dengar, Agatha. Kau harus ikut bersamaku, singgah di sebuah tempat bernama Goddes School yang terletak di sebelah Timur Kota Paris."

Agatha masih diam, mengatur nafasnya pelan-pelan. "Kau adalah reinkarnasi Athena. Kau harus diamankan sampai setahun lamanya."

Mata Agatha membulat. "Ap-apa?"

"Tidak perlu kaget. Aku pun begitu. Aku Justin, reinkarnasi Apollo. Dewa Matahari. Zeus sialan itu menyuruhku menjemputmu, kau harus berterimakasih."

"T-tunggu dul-"

"Sekarang, kita berangkat."






[][][]

gimana? suka engga._.

Goddes ReincarnationWo Geschichten leben. Entdecke jetzt