Dua Puluh Lima - Akhir (1/2)

477 57 28
                                    

Makan malam kali ini benar-benar biasa. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang salah juga.

Agatha memotong daging panas yang berjejer rapih pada permukaan piring bundar di hadapannya dengan lincah dan memasukkannya ke dalam mulut secara berkala. Rasa nikmat langsung menyemprot tiap dinding di dalam mulutnya begitu daging tersebut terkunyah oleh gigi-giginya. Agatha tidak berhenti memuji betapa sempurnanya hidangan di restoran ini, sementara seperti yang sudah diduga, yang Zayn lakukan hanyalah menatap Agatha dengan bibit-bibit senyum tertahan. Tangannya tak lepas dari ujung sedotan yang sejak tadi hanya ia gunakan untuk mengaduk minuman di hadapannya tanpa ada niatan untuk disesap sama sekali.

Ketika makanan Agatha hampir habis, Zayn izin ke toilet sebentar. Agatha merespon dengan anggukan kecil tanpa banyak tanya, dan kembali menyantap hidangannya tak berjeda.

Sesuatu yang aneh dimulai ketika lampu padam tiba-tiba. Sontak, awak restoran mendadak riuh. Jerit kaget dan bisik-bisik pengunjung yang bertanya-tanya langsung memenuhi indera pendengaran Agatha.

Agatha tahu ini bukan sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang terjadi karena kesalahan teknis pada umumnya. Karena entah mengapa, jantungnya berdegup begitu cepat, dan mendadak ia merasa gelisah. Padahal, ia sama sekali tidak takut akan kegelapan. Agatha tidak biasanya mendadak gelisah dan takut seperti ini. Jika ia merasakan sesuatu yang aneh hingga keringat dinginnya langsung bercucuran keluar membasahi kening, sudah pasti ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

               Benar. Rasa takut dan gelisah itu terjawab ketika Agatha tiba-tiba merasakan suatu benda kecil tajam yang menusuk tepat pada bagian lehernya. Pelan, ada semburan kecil air yang menyebar melalui benda runcing itu. Entah cairan apa, rasanya panas dan membuatnya merasa ngilu, otot-ototnya perlahan menegang menahan sakit, cairan itu pasti bukan sesuatu yang baik. Karena di detik selanjutnya, Agatha tidak lagi sadarkan diri.

g o d d e s

"Dia berada di ruangan sebelah."

Justin yang sudah nyaris kehilangan kesadarannya kini mengangkat kepala. Tetesan darah kental yang berbau karat mengalir melewati pelipis menuju tulang pipi. Kemudian darah itu menggantung sebentar pada dagu sebelum mewarnai lantai berdebu di bawah sana. Sudah dua jam berlalu, yang Aphrodite lakukan hanya menyiksa Justin tiap kali pria itu berusaha untuk kabur. Aphrodite yang kejam tak segan memukuli pria lemah di hadapannya menggunakan besi atau kayu, tak peduli meski Justin berteriak kesakitan seolah kehidupan perlahan menguap dari tubuhnya, Aphrodite sama sekali tidak merasakan iba. Semakin Justin berteriak, Aphrodite justru semakin bersemangat.

"Siapa yang kau maksud?" Suara Justin nyaris tidak terdengar. Hanya berupa bisikan kecil yang serak, yang volumenya bahkan nyaris kalah dengan suara detak jarum jam besar di sudut ruangan.

"Kekasihmu tercinta," Dewi cinta itu mengerling kegirangan. "Tinggal lima jam lagi, aku beri kau waktu untuk bisa menyelamatkan gadismu. Jika kau gagal, kau akan melihatnya mati di hadapanmu sendiri. Tepat ketika kekuatanmu kembali."

"Mana mungkin." Justin malah tertawa hambar. Yang jujur saja, tawa itu lumayan menyakiti dirinya sendiri.

"Aku memang membenci Zayn. Dia adalah orang yang paling aku benci di dunia ini." Justin menarik nafas. Berusaha memberi asupan oksigen menuju paru-parunya yang semakin detik terasa semakin sesak. "Tapi aku tidak bisa pungkiri, Zayn adalah orang yang paling aku percaya. Aku yakin, Zayn bisa melindungi Agatha. Dia tidak akan membiarkan Agatha jatuh ke tangan cupid-cupid lemahmu!" Pria itu meronta di atas kursi yang seolah telah menyatu pada bagian tubuhnya. Sukar sekali tuk dipisahkan.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now