Tujuh Belas - Tebing

473 61 19
                                    

Agatha memang sering dan suka menolong. Membantu orang lain sudah serupa hobi dan kebiasannya sehari-hari. Tapi yang Agatha bantu sepanjang eksistensinya hidup selama tujuh belas tahun ini hanyalah jenis bantuan-bantuan ringan yang bahkan orang tersebut bisa melakukannya sendiri. Agatha tidak pernah membantu seseorang untuk masalah pribadi—apalagi masalah keluarga yang tidak ada sangkut-paut sama sekali dalam jalan cerita di hidupnya. Kalau saja Agatha tidak melihat iris penuh luka dan retakan kaca di dalam mata Hailey, pasti Agatha sudah menolak sejak tadi. Namun menilik dari seberapa besar keinginan Hailey agar Agatha mau menurutinya, Agatha tidak tega. Dan memilih untuk membantu gadis berkulit kecoklatan itu.

Agatha menghembuskan nafas asal. Sudah pukul dua dini hari dan ia tak kunjung terlelap. Entah apa yang ia fikirkan, tapi matanya terasa ringan sekali untuk selalu terjaga. Ia menggeliat di atas kasurnya—kemudian bergerak mengubah posisi menjadi duduk. Tangannya meremas selimut dengan kuat. Malam ini dingin sekali. Sepertinya Agatha akan keluar sebentar untuk membeli minuman hangat di kafetaria dekat lobby yang selalu buka dua puluh empat jam. Agatha berdiri—awalnya merasakan dingin yang menusuk kala telapak kakinya menyentuh permukaan lantai yang serupa es balok. Namun begitu ia menemukan sandalnya, ia merasa lebih baik.

Mengambil dompet di nakas, lantas mengenakan hoodie hitam lengkap dengan kupluknya. Gadis dengan mata biru keabu-abuan itu mengayunkan kaki keluar. Koridor asrama seratus persen sepi. Tidak ada suara sama sekali selain decitan pintu yang berteriak ketika sedang ia tutup. Benar-benar hening, bahkan suara-suara kecil dari kejauhanpun tak terdengar sama sekali. Agatha merasa sedikit takut setelah kakinya melangkah melewati lorong koridor yang sepi dan gelap, namun rasa takutnya memudar setelah ia menuruni anak tangga untuk segera ke kafetaria.

Masih saja tidak ada siapapun.

Siapa pula orang bodoh yang sudi keluar jam segini—selain Agatha tentu saja.

Kemudian ketika Agatha melewati belokan, langkahnya terhenti. Tubuhnya mematung begitu ia melihat sosok wanita dengan pakaian serba putih mengkilat tengah membelakanginya. Tidak perlu mengeluarkan banyak suara untuk membuat wanita itu menyadari eksistensi Agatha. Karna sekarang, wanita itu menoleh—dan menatap Agatha dengan ekspresi sedikit dibumbui rasa kejut. Agatha tersentak. Tubuhnya seolah disihir menjadi patung kala ia menatap mata wanita itu—biru gelap, tapi sangat indah.

Parasnya luar biasa cantik. Benar-benar definisi cantik yang sesungguhnya. Agatha tidak melihat satupun polesan make up yang melapisi permukaan kulit wajahnya. Wanita itu benar-benar cantik natural, dengan hidung mancung dan bulu mata yang panjang.

Tapi bukan itu poin utamanya. Yang penting sekarang bukan seberapa cantik wanita itu, tapi siapa wanita itu dan mengapa ia berada di sini?

Agatha menarik nafas. Berniat untuk kembali melangkah tak peduli kalau saja wanita itu tidak melangkah lebih dulu untuk menghampirinya. Wajah wanita itu datar tanpa senyuman, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang bisa membius semua tatapan kaum Adam. Agatha menegak ludah, ia benar-benar menciut jika sudah ditatap sedemikian rupa—entah karena ia merasa mendadak jelek ketika berhadapan dengan perempuan cantik, atau memang perempuan itu yang mampu memutuskan urat-urat keberanian Agatha.

"Agatha Minerva." Wanita itu menyebut namanya. Benar-benar syahdu. Suaranya selembut beludru, indah bukan main. Kalau Agatha laki-laki, mungki dia sudah tewas di tempat saking senangnya. Selama Agatha hidup, ia belum pernah melihat perempuan dengan fisik sesempurna wanita ini.

"Kau terlihat ketakutan. Santai, oke? Mau berbagi kopi?" Wanita itu menarik senyum tipis yang membuat kecantikannya bertambah sembilan kali lipat. Agatha tidak menjawab. Bukan karena tidak ingin—melainkan karena tidak sanggup.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now