Dua Puluh Empat - Satu Malam Bersama Aphro

570 57 17
                                    

Agatha tahu Justin tidak benar-benar serius ketika pria itu mengatakan iya. Matanya terlihat kosong dengan helaan nafas panjang yang terdengar begitu berat. Agatha juga tahu, apa yang ia katakan pada Justin jelas akan menurunkan mood Justin dengan drastis.

Usai berciuman mesra di bawah siraman sinar rembulan, Agatha mengatakan bahwa besok ia akan makan malam bersama Zayn. Agatha seharusnya tidak menerima ajakan Zayn tapi entahlah, dia merasa tidak enak. Zayn tidak mengajaknya makan malam untuk berselingkuh--mereka hanya makan, hanya sebatas itu. Tidak ada alasan kuat bagi Agatha untuk menolak. Tapi meminta izin pada Justin juga bukan perkara yang mudah. Memang, Justin mengizinkannya. Tapi melihat dari ekspresi dan lagat Justin setelah mengatakan iya, Agatha sadar bahwa Justin sebenarnya merasa amat tidak nyaman.

"Kau pasti cemburu." Agatha tertawa palsu, hanya mencoba untuk mencairkan suasana. Entah mengapa setelah melihat mood Justin yang mendadak merosot, suasana sekitar menjadi begitu canggung dan Agatha merasa tidak enak.

Pria itu menggeleng, tapi anehnya, ia berkata, "Iya. Tentu saja." Seolah ucapan dan gerakannya tidak sinkron sama sekali. "Zayn menyukaimu. Dia sahabatku juga. Bagaimana mungkin aku membiarkan itu. Well, tapi aku tahu kau tidak akan mengkhianatiku. Jadi aku izinkan, meski agak... tidak rela."

Agatha tertawa lagi. Kali ini terdengar lebih lepas dan tulus. Agatha suka jika Justin berkata jujur, meski terkadang kejujuran itu tidak ia harapkan. Namun jika dibandingkan dengan dusta, Agatha jauh lebih memilih kejujuran yang menyakitkan ketimbang kebohongan yang membahagiakan.

"Kau tahu itu. Mana mungkin juga aku menyakitimu. Bahkan jika Zayn menjajikan seribu rumah bagus dan sepuluh ribu mobil mewah, aku akan tetap memilihmu." Gadis itu berujar dengan nada yang dibuat manja, berusaha untuk menggoda. Dan Justin meresponnya dengan helaan nafas pendek sebelum pria itu mengeratkan rangkulannya pada Agatha. Kini mereka benar-benar tak terpisahkan oleh jarak.

"Hentikan itu. Tanpa perlu kau goda, aku sudah begitu tergoda sampai mau mati rasanya."

"Ewh. Itu menjijikkan, Just. Sejak kapan kau jadi sangat... yeah, terdengar seperti player."

"Hanya untukmu aku begini."

Agatha tidak menjawab, namun senyum jelas tercetak pada bibirnya yang ranum. Gadis itu mengeratkan tangannya yang melingkar pada pinggang Justin sebelum memejamkan mata dengan sudut-sudut bibir yang masih tersungging ke atas. Rasanya, ia ingin sekali berada dalam pelukan ini. Selamanya. Agatha amat enggan untuk melepaskan pelukan itu.

Karena entah mengapa, Agatha merasa akan sangat merindukan pelukannya. Besok, lusa, Agatha sendiri tidak tahu.

Agatha takut merasakan rindu.

g o d d e s

Agatha tidak merasakan sesuatu yang asing. Semua berjalan lancar. Bahkan ia sama sekali tidak perlu repot-repot menjajal pakainnya satu per satu. Ia mengambil pakaian yang pertama masuk ke dalam pandangannya saja, lantas memakai pakaian itu dan memoleskan permukaan wajahnya dengan makeup tipis. Ia tidak menggunakan concealer atau highlight apalagi bronzer. Memakai bedak dan lipstik saja sudah merupakan reward bagi Zayn karena selama ini Agatha tidak pernah menggunakan make up di hadapan pria itu.

Bukan berarti Agatha mirip seperti gadis tomboi yang tidak suka berdandan. Memang kekuatan pukulan dan tendangannya melebihi batas rata-rata kekuatan perempuan biasa, namun begitu, Agatha masih tetap berpenampilan seperti gadis pada umumnya. Mencoba untuk terlihat cantik dan anggun, juga kuat, pada satu saat yang sama.

Goddes ReincarnationWo Geschichten leben. Entdecke jetzt