Tiga Belas - Gempa

515 73 24
                                    

Takut kehilangan

.

.

Semburat oranye di langit jingga telah menghias angkasa. Hari hampir malam, besok kegiatan belajar efektif akan dimulai, dan lusa tugas kelompok Biologi harus dikumpulkan. Namun gadis dengan mata bewarna biru keabuan ini justru belum mengupas sedikitpun materi Biologi yang kelompoknya harus kerjakan--apalagi jika ia harus bertemu dengan Luke, itu sama saja memberikan tubuhnya secara gratis pada barisan pria berhidung belang-- jadilah muncul deretan alasan mengapa Agatha sangat tidak ingin mengerjakan tugas kelompok. Dan sore ini, ketika murid lain masih asyik menghabiskan weekend time mereka entah bersama teman atau keluarga--bagi mereka yang izin pulang ke negara asal-- Agatha justru sibuk berlari di sepanjang koridor hanya untuk menemui pria yang pernah ia benci setengah mati.

Nomor sembilan. Agatha tahu nomor kamar pasangannya.

Gadis itu mengayunkan kakinya untuk menuju kamar itu, sampai kemudian langkahnya terhenti ketika ia melihat Harry sedang berjalan dari ufuk Barat yang dalam arti lain adalah mereka berdua akan berpapasan dalam hitungan detik. Agatha diam, akal dan hatinya sedang berperang. Apa ia harus menanyai keberadaan Justin pada Harry meski hanya bicara dengan pria itu saja akan melukai hatinya? Atau Agatha berpura-pura tidak melihat Harry dan bersikap apatis sementara Harry sendiri bernotabene tidak tahu menahu soal perasaan Agatha?

Waktu habis. Dan Harry sudah berdiri tepat di depan tubuhnya. Agatha yakin betul kalau Harry baru saja mandi, jelas ketahuan dari wajah dan aromanya yang nampak benar-benar segar. Agatha menarik nafas. Baru saja hendak melangkah acuh tak acuh ketika pria itu justru mengajaknya bicara lebih dulu, sontak membuat sekujur tubuhnya menegang.

"Minerva, kenapa tadi kau berlari? Ada yang bisa ku bantu?" Berhentilah bersikap seolah kau adalah pria yang memberikan Agatha cara dan sikap yang berbeda. Harry baik pada Agatha, tapi ternyata Harry memang baik pada semua orang.

Gadis itu mengangkat wajahnya susah payah. Mata mereka bertemu. Agatha kembali tenggelam dalam pusaran hijau cerah yang seolah membawanya ke tempat paling teduh di dunia. Agatha berusaha membentuk segaris senyum kecil yang terlihat alami, meski yang terjadi justru sebaliknya. Senyum Agatha nampak pahit, jelas dipaksa.

"Aku mencari... Justin. Kau tahu di mana dia?"

"Justin?" Harry nampak sedikit terkejut. "Tumben sekali kau mencarinya. Bukankah hubungan kalian kurang baik?"

"Kau tahu atau tidak? Jangan buang waktu ku."

Agatha meneguk ludahnya sendiri usai bicara demikian. Agatha ingin bersikap dingin, bersikap seperti seorang gadis yang tidak menyukai lawan bicaranya. Agatha ingin terlihat normal dan tidak menarik perhatian, karena Agatha akan benar-benar malu jika suatu saat Harry menyadari perasaannya karena sikapnya yang terlalu kentara. Kendati demikian, agaknya Harry sedikit terkejut dengan distorsi sikap Agatha yang terlampau berbeda. Agatha biasa tersenyum manis dan berbicara baik-baik pada Harry--yang amat berlawanan dengan sikapnya hari ini. Wajar jika hal itu membuat Harry sedikit tersentak.

Namun dengan lihai Harry menyembunyikan keterkejutannya di balik senyuman. Salah satu hal yang Agatha benci untuk saat ini. Melihat senyuman Harry sama saja seperti menarik Agatha lebih dalam menuju kehangatan tiada tara, namun di sisi lain mendorong Agatha masuk ke dalam rasa sakit tiada duanya.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now