Lima Belas - Salah Faham

489 67 54
                                    

Justin bukan pria yang rela menjilat ludahnya sendiri, atau tipe orang yang mau memunguti pecahan beling untuk disusun menjadi seperti semula lagi. Ketika Justin sudah mengatakan a, maka a adalah kebenarannya. Dia tidak akan menarik perkataannya sendiri karena dia membenci orang yang melakukan itu. Ketika Justin bilang dia mencintai Agatha, itu benar, tidak bohong. Namun apa yang terjadi di koridor sekarang adalah salah satu hal yang tidak pernah Agatha duga sama sekali. Agatha baru saja mengajukan satu permohonan pada pria itu, bahkan dengan suaranya yang sengaja dihaluskan serta kedua telapak tangan yang diadu. Ia menatap Justin penuh harap agar pria itu mengabulkan keinginannya, tapi Justin justru berjalan pergi seolah Agatha tidak mengatakan apa-apa.

Agatha menyerukan nama pria itu berulang. Ia berlari, menghadang Justin dengan kedua tangannya yang direntangkan. Bagai angin lalu, Justin tetap berjalan tanpa mengubris barang sedikitpun. Sampai kemudian Agatha berteriak keras, membuat langkah kaki pria itu terhenti. Meski enggan, Justin membalikkan tubuhnya. Menatap Agatha dengan tajam, menusuk ke dalam titik paling jauh pada iris biru keabuan itu.

"I said no, Minerva." Justin menghela napas. Emosinya memuncak, namun ia tidak akan bisa menumpahkan emosi itu pada gadis yang ia cintai di pagi-pagi buta begini. "Kau mengerti bahasa manusia, kan?"

"Well, aku memaksa. Jadi tolong, katakan ya dan aku akan benar-benar menghargai keputusanmu."

"Apa kau fikir aku gila?" Suara Justin terdengar menohok dan dingin. Nsmun begitu, Agatha tahu Justin tidak berniat mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti perasaannya. "Aku mencintaimu, kau mengerti itu? Sumpah, aku jujur."

"Dan kenapa kau tidak ingin melakukan sesuatu yang aku mau? Aku orang yang kau cintai, kan? Aku tidak menyuruh, aku meminta tolong."

Justin menggeleng. "Aku tidak sebaik itu,"

"But why?" Katakanlah Agatha bodoh. Tapi ia memang sama sekali tidak mengerti mengapa Justin bisa menolak permintaannya kali ini.

"You asked me why?" Pria itu tertawa sarkastik. "Aku mencintaimu. Yang aku mau, kau menjadi kekasihku. Bukan menjadi kekasih bohonganku."

Agatha diam.

"Fikirkan perasaanku Agatha. Aku mencintaimu dan kau mau aku menjadi pacar palsumu hanya karena kau ingin membuat Harry cemburu? Hanya karena Harry sudah berpacaran dengan orang lain sedangkan kau belum? Ini sedikit sakit, atau sangat, kau sama sekali tidak menghargai perasaanku. Guess what, I still love you."

"Aku tidak ingin membuat Harry cembu-"

"Kau ingin membuat dia cemburu. Kau masih mencintainya."

"Aku tidak mencintainya!"

"Kau iya."

"Justin dengarkan aku, kau harus mengert-"

"Kau." Justin menarik nafas dalam-dalam. Lantas sebuah senyum tipis terukir perlahan. Pria itu menatap Agatha lekat-lekat. "Kau yang seharusnya mengerti perasaanku."

Usai bicara begitu, Justin membalikkan tubuhnya. Pria itu melanjutkan langkah yang sempat tertunda untuk segera masuk ke dalam kelas. Sedetik setelahnya, ponsel Agatha bergetar. Gadis itu merogoh saku, lantas memainkan jemarinya di atas layar untuk membuka satu pesan yang baru saja masuk.

From : Dad

Hari ini hari peringatan kematian Ibumu. Kau mau ikut berkunjung ke makam? Kalau mau, aku jemput di sekolah jam 3 sore.

Agatha menarik nafas. Ada sesuatu yang keras menghantam bagian dalam dadanya. Sakit. Selalu begini. Agatha bisa menjadi orang paling aneh di dunia setahun sekali setiap hari peringatan kematian Ibunya. Dia bisa saja menangis sepanjang hari, dan berteriak marah menyalahkan diri sendiri. Ini kali pertama, Agatha tidak bisa datang. Tapi mungkin duplikasinya bisa? Entahlah, bahkan detik ini Agatha tidak bisa memikirkan itu karena air matanya telah mengalir sejak tadi.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now