Dua Puluh Dua - Bunuh Diri

465 52 17
                                    

"I'm really... really missing her."





g o d d e s

"Aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Kurasa," Hembusan angin pada pagi hari ini terasa begitu menusuk tulang. Dinginnya membuat Agatha sampai harus menarik mantelnya agar lebih rapat. Setiap ia menghembuskan nafas atau sekedar bicara, uap putih lembut akan mengambang mewarnai udara. Tidak biasanya ia sudah berjalan ke ruang kelas sepagi ini, tapi hari ini ada soal essay yang belum sempat ia isi tadi malam, sehingga ia harus datang lebih awal untuk menyalin jawaban Ariana, tentu saja.

Ariana bukan gadis yang cerdas. Tapi dia pintar, pintar menyontek. Dapat dipastikan Ariana sudah selesai mengerjakan soal essay itu setelah menyalin milik Kendall tadi malam.

"Sudah seminggu sejak Aphrodite datang malam itu. Dan dia sama sekali belum berbicara denganmu, kan? Mengapa kau keras kepala sekali?"

Agatha menghembuskan nafasnya dengan kasar bersamaan dengan kaki jenjangnya yang berhenti melangkah. Gadis itu membenamkan bibir pucatnya pada satu garis yang lurus, kemudian membalikkan badan. Iris biru keabuannya memandang pria itu dengan tajam, namun masih menyimpan guratan rasa menghargai yang terselip sedikit.

"Kau fikir aku mau meninggalkanmu? Andai saja mudah, andai saja bisa, aku sudah menerimamu sejak lama, Zayn. Aku menyayangimu, tapi aku sadar kalau aku menyayangimu sebagai sahabatku. Kau ada untukku sebagai sahabatku, tidak lebih dari itu."

"Apa kau sudah mencoba? Kau sudah mencoba mencintaiku? Agatha, jika kau hanya berdiam diri dan terus-menerus menunggu Justin kembali padamu, kau tidak akan pernah bisa merasakan cinta lagi. Dia sudah pergi dan memberikanmu padaku."

"Tahu apa kau soal Justin yang tidak akan kembali? Untuk apa dia kembali jika hubungan kita belum berakhir? Aku tahu dia brengsek. Dia memberikanku padamu seolah aku adalah barang kecil. Tapi satu hal yang dapat ku pastikan, dia melakukan itu karena dia sangat mencintaiku."

"Dia tidak akan pernah kembali lagi. Siapa yang peduli soal cinta? Kau harus memiliki seseorang untuk selalu berada di sampingmu. Well, jika dia memang mencintaimu, dia pasti tidak akan merelakanmu untuk berada bersamaku."

Agatha menggeleng pelan, dengan seutas senyum tipis yang membuat mata Zayn tak bisa beralih dari lekuk wajahnya yang begitu cantik meski tanpa polesan make up sama sekali. "Kau salah. Kau salah. Kau tahu apa puncak tertinggi cinta seseorang? Itu adalah ketika kau bisa merelakan dia bersama yang lain, melihat dia tertawa karena orang lain, meski menyakitkan untuknya, orang itu tidak peduli asalkan dia bahagia."

Kemudian Agatha memiringkan kepalanya pada satu sisi. "Tapi sayangnya, Zayn. Justin juga salah. Aku tidak bahagia bersamamu."

g o d d e s


"Salju pertama turun." Justin yang sedang terpekur pada buku di atas mejanya kini tersentak dan segera menoleh. Sebenarnya Justin tidak benar-benar membaca buku itu. Ia sedang memikirkan orang lain, memikirkan Agatha tentu saja. Buku tebal dengan deretan kalimat itu hanya ia jadikan sebagai properti tambahan saja, agar dirinya tidak terlihat seperti pria murung yang sedang patah hati. Suara Shawn yang jarang ia dengar tentu saja sukses membuatnya sedikit kaget. Ketika Justin menoleh, ia mendapati Shawn sudah duduk pada kursi di sebelahnya.

"Kau bicara padaku?" Justin menaikkan sebelah alisnya dengan acuh. Wajahnya nampak tak berkespresi, terlihat tidak tertarik untuk berbincang dengan pria berambut hitam ikal itu.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now