Dua Puluh - Kecewa

545 62 32
                                    

Ariana menghela nafas pendek. Malam ini tidak sedingin malam-malam biasa. Namun gadis itu tetap mengenakan baju tebal panjang bewarna hitam yang memeluk tubuhnya dengan erat. Agatha duduk di sebelahnya. Mata mereka sama-sama menatap ke arah langit bertabur bintang yang bersinar terang. Sang rembulan tidak lagi menyembunyikan diri. Malam ini spesial, segala sesuatu terasa hangat dan menyenangkan. Terkecuali bagi Agatha—tentu saja. Kehilangan Hailey dan Madison—juga Justin, bukan perkara kecil yang membuatnya masih semangat untuk sekedar tersenyum. Setelah apa yang terjadi empat hari lalu, hidup Agatha benar-benar terasa berubah.

Agatha mendengus pelan. Dengusan itu membuat helaian rambutnya yang menerpa wajah kini melayang tertiup angin dari bibir. "Maafkan aku kalau jadi melibatkanmu. Habis, aku tidak tahu harus bercerita pada siapa lagi." Gadis itu belum mengalihkan pandang dari hamparan bintang di langit maha luas. "Aku tidak bisa bercerita tentang Justin pada Selena, dia akan sakit hati—meski dia pasti berpura-pura baik saja. Kendall, hm, aku tidak terlalu dekat. Dia juga terlihat kurang bersahabat. Dan kau, kau bukan termasuk orang-orang yang membenciku setelah hari itu."

Maksud Agatha, Ariana bukan salah satu dari beberapa orang yang kini membencinya karena mereka tetap berfikir kalau kematian Hailey adalah salah Agatha. Memang tidak masuk akal. Jelas-jelas Agatha korban, dan raga Madison berada di bawah kendali Aphrodite, tapi ada saja mulut-mulut iseng yang suka memodifikasi cerita menjadi sedemikian rupa, seperti Agatha sengaja membiarkan Hailey terjatuh hingga rumor itu menyebar cepat dan mengundang kebencian-kebencian yang tertuju pada gadis itu. Jujur saja, Agatha sama sekali tidak peduli.

"Bukan masalah." Ariana menyahut sembari meraih mug berisi coklat panas yang sedari tadi berdiri di sebelah pahanya. "Tapi serius, apa yang kau lakukan tadi siang itu keterlaluan, Minerva. Justin menyelamatkanmu dari kekuatan Akhlis, loh. Aku memang tidak terlalu faham tentang kabutnya, sih. Tapi satu poin utama yang aku tangkap, kabut milik Akhlis itu berbahaya! Kau jangan terpesona oleh paras Austin."

Agatha memutar mata jengah. Ucapan Ariana berhasil mengkocok isi perutnya yang terasa kosong. "Aku sama sekali tidak tertarik pada Austin. Jika dibandingkan dengan Justin sih—"

"Justin itu bagai serba nomor satu di matamu. Apa-apa selalu Justin yang lebih ini lah lebih itu lah. Lalu kenapa kau masih saja mengacuhkannya? Sudah ku bilang, dia cuma gengsi untuk memulai percakapan selama ini."

"Tapi Ariana, itu keterlaluan. Dia mengabaikanku seolah... aku penjahat? Aku korban, Ria. Siapa lagi yang bisa mendukungku selain kekasihku? Tapi dia pergi. Hilang tanpa kabar dan hanya berkata aku tidak marah padamu. Tapi apa yang dia lakukan justru sebaliknya, seakan dia benar-benar marah. Fikiran laki-laki memang jauh lebih rumir dari rumus-rumus fisika."

"Kalau Justin bilang dia tidak marah, aku percaya jika dia serius. Justin tidak pernah bermain dengan ucapannya sendiri, Agatha. Kau tahu itu."

"Tapi Ria,"

"Bisakah kau berhenti memotong-motong namaku? Ria terdengar seperti nama samaran pelacur-pelacur sewaan pria hidung belang." Ariana protes. Namun mendengar protesannya yang diungkapkan dengan intonasi khas Ariana, Agatha malah tersenyum geli menahan tawa.

"Ria lebih singkat."

"Lupakan." Gadis dengan rambut coklat itu mengibaskan tangan di udara. "Sekarang bangun, pergi temui dia. Seharusnya kau mengerti perasaan seseorang yang kehilangan. Kalian sama-sama sedih dan sama-sama butuh dukungan moral, tidak seharusnya malah terjadi perang dingin begini. Sana, cepat."

Dalam hati, Agatha meng-iyakan ucapan Ariana. Namun raganya tak kunjung beranjak. Gadis itu justru menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa.

"Apalagi yang bisa ia harapkan setelah kehilangan Ibu dan saudara kembarnya? Masih untung dia tidak gila. Kau boleh saja marah, tapi jangan sekarang, jangan di saat dia benar-benar membutuhkanmu."

Goddes ReincarnationDär berättelser lever. Upptäck nu