Delapan Belas - Kopi

380 60 25
                                    

Justin tidak percaya pada suatu hal yang disebut dengan keajaiban. Sama sekali tidak percaya. Tapi khusus, untuk kali ini, untuk pertama kalinya, Justin berharap bahwa keajaiban itu benar-benar ada. Bahwa keajaiban bisa membawa Agatha kembali padanya.

Justin tahu ia bodoh dan lemah. Ketika Agatha jelas berada dalam bahaya, dia tidak bergerak cepat, dan ketika Justin telah tiba—semua sudah terlambat. Justin selalu berjanji untuk melindungi Agatha, tapi apa yang baru saja terjadi justru bertolak belakang dengan janjinya. Justin merasa hancur dan hampa, dia merasakan bahwa julukan pengecut sejati sangat cocok jika diberikan padanya. Ia bahkan tidak sanggup untuk berdiri tegak—padahal teman yang lain sudah terus menyerukan namanya puluhan kali. Justin berfikir, mungkin dia akan gila beberapa detik lagi. Konyol, seorang Justin sedang gemetar ketakutan sambil menangis sekarang. Mengapa takdir begitu kejam?

Justin benar-benar tidak percaya pada sesuatu yang disebut dengan cinta dan kebahagiaan. Sampai pada suatu saat, dia melihat Agatha tersenyum—Justin menemukan kebahagiaannya. Dan sekarang, apa Tuhan akan merebut kebahagiaan milik Justin untuk selamanya? Salahkah jika Justin protes dan marah pada takdir?

Mata Justin menatap nanar pada air laut yang bewarna merah. Air mata menghujani pipinya dengan deras. Pria itu berusaha untuk bernafas, meski yang terjadi justru ada getaran pada tenggorokannya membuat ia semakin merasa terpukul. Bernafas terasa begitu sulit, seperti ada yang menyumbat paru-parunya hingga sukar tuk berfungsi. Lantas, Justin merasakan seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ketika menoleh, pria itu melihat sang Dewa. Justin melihat Apollo sedang menatapnya sendu.

"Kuatkan dirimu, Just." Apollo berujar begitu. Ucapan Apollo seolah menekankan fakta bahwa dua gadis yang ia sayangi sudah benar-benar pergi. Dan itu membuat air mata Justin mengalir kian deras. Justin menggeleng, sama sekali tidak setuju. Ia bukan pria yang senang mengumbar air mata di depan umum, tapi kali ini—Justin benar-benar tidak kuat menahannya lagi.

"Apollo..." Suara Justin terdengar serak. Seperti kehilangan sebuah harapan. "Tolong... tolong mereka," Justin malu ketika dia terlihat lemah. Kali ini ia terisak, dengan bahu yang terguncang, dan untuk kali ini dia tidak lagi merasa malu. Hanya satu emosi yang sedang bersarang dalam dirinya. Takut.

Apollo tidak menjawab. Bukan tidak ingin. Melainkan karena perhatian mereka kini tersita oleh sebuah suara gemuruh yang berasal dari bawah. Semua orang yang berada di tebing langsung bersikap waspada—khawatir Aphrodite kembali melancarkan aksi brutalnya. Mereka hanya bisa diam menunggu apa yang akan terjadi ketika permukaan tebing dan air laut terasa bergetar pelan, semacam gempa, namun tidak terlalu besar. Justin mendengar seorang gadis menyerukan namanya. Ketika menoleh, ia melihat Selena. Selena berlari menghampiri, ikut duduk, dan langsung menggenggam jemari Justin dengan erat. Gadis itu terlihat ingin menangis—tentu saja. Meski Selena sudah dicap sebagai perempuan jahat di mata Justin, tapi Selena masih punya hati. Siapa pula yang tidak berduka setelah melihat dua temannya baru saja jatuh dari atas tebing dan langsung menghantam bebatuan di dasar lautan.

Guncangan terasa semakin dahsyat. Orang-orang yang sedang berada di tebing hampir saja terkena serangan jantung serempak begitu mereka melihat ombak setinggi delapan meter berlari dari kejauhan. Rata-rata menunduk dan berteriak. Ombak itu mendekat dengan kecepatan ekstra—dan khusus bagi Justin, dia sama sekali tidak khawatir jika detik itu ajal akan menjemputnya.

Mereka semua memejamkan mata, berteriak. Namun hingga detik demi detik terus berlalu, mereka tidak merasakan air laut yang dingin menerpa tubuh mereka. Merasa takut, kendati tetap memberanikan diri membuka mata. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat ombak itu seolah membeku tepat di dekat tebing. Ombak itu masih berkecamuk, setinggi delapan meter, tapi tak lagi bergerak ke depan. Namun bukan hanya itu yang membuat mereka tercengang. Melainkan ketika mereka melihat Poseidon berada di sana. Poseidon dengan tubuh berbentuk manusia setengah ikan kini sedang menatap ganas pada reinkarnasi-reinkarnasi dewa-dewi di hadapannya. Poseidon masih berpenampilan sama. Pria baya gagah yang membawa tongkat trisula. Di kedua bahunya yang lebar, ada dua orang gadis di sana.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now