Sebelas - Hailey Lagi

512 59 29
                                    


.

.

Gadis itu masih memandang lurus ke arah rerumputan. Bulan telah menyapa, hempasan angin malam sudah berhembus menusuk tulang. Namun gadis dengan iris biru keabuan itu tidak ada niatan untuk beranjak, alih-alih malah nampak nyaman dengan posisi seperti itu. Memeluk kedua kakinya erat, menyandarkan dagunya pada tempurung lutut. Rambut coklat gelap miliknya jatuh membingkai wajahnya yang oval, terlihat manis dari sisi samping. Tapi sayang, dia bahkan belum buka suara, dan masih mengabaikan eksistensi pria yang sudah jengah di sebelahnya.

"Kau sudah duduk di situ lebih dari satu jam. Cepat kembali ke kamar. Angin malam itu tidak baik,"

Entah sejak kapan, sikap pria itu benar-benar berubah. Dari yang biadab tidak berhati, kini justru nampak begitu peduli. Setidaknya bagi Agatha begitu.

Namun gadis itu tidak mengubris sama sekali. Wajar saja, Justin sempat membentak dan memarahinya tadi. Oke, Justin dulu sering sekali membentaknya dengan berbagai cercaan kotor dan Agatha tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi setelah beberapa hari berlalu dengan sikapnya yang melonjak drastis, setelah Justin bersikap baik dan tiba-tiba ia menampilkan sisinya yang sama seperti minggu lalu, Agatha tentu merasa terkejut. Tepat setelah Justin menghajar Luke habis-habisan tadi, Justin memarahi Agatha dengan banyak sekali kata makian keluar dari bibirnya. Padahal, Justin hanya khawatir. Justin hanya marah karena Agatha tidak melakukan perlawanan, Justin hanya takut kalau Luke berhasil mencium Agatha sebelum Justin sempat datang, tapi ternyata omelan Justin sedikit melukai hati gadis itu. Alhasil, Agatha justru pergi meninggalkan ruang kesehatan dan duduk di hamparan rumput taman, mengabaikan ocehan maaf Justin yang sudah dilontarkan seribu kali.

"Aku hanya khawatir,"

Justin menarik nafas. Entah sudah yang ke berapa ratus kalinya ia diabaikan. "Sekarang aku lebih khawatir kau akan terkena demam. Kita harus cepat selesaikan tugas biologi itu, kalau kau sakit, kami akan kerepotan."

Untuk pertama kalinya, seorang Justin sang putera presiden Kanada sekaligus reinkarnasi Dewa Apollo sedang diacuhkan oleh seorang gadis. Ajaibnya, pria itu nampak enggan untuk menyerah. Meski jengah, air wajah Justin tidak memancarkan emosi.

"Kalau kau sakit, aku akan leluasa berduaan dengan Selena."

Justin berharap gadis itu akan merespon. Tapi nyatanya tidak.

"Kalau kerja kelompok kita batal, aku bisa gunakan waktu itu untuk berduaan dengan Hail-"

"Kita bisa kerja kelompok." Akhirnya Agatha menjawab.

Gadis itu bangkit bagai baru saja mendengar ledakan bom dari belakang tubuhnya. Agatha berdiri tegap, serupa tentara yang sedang baris berbaris. Ia memukul pelan celananya di bagian bokong untuk menyingkirkan rerumputan kering yang menempel. Tanpa ia sadari, Justin sedang mengukir senyum manis penuh kemenangan. Pria itu menghela bafas lega kemudian beranjak berdiri, dan melakukan hal yang sama seperti yang Agatha lakukan tadi.

"Besok bisa?"

"Kapanpun."

Justin terkekeh. "Kau tidak suka kalau aku dekat sama Hailey, eh?"

Agatha mengerjap. Lantas memalingkan wajahnya untuk menatap langit yang tersaput awan tebal. Sebenarnya banyak sekali alasan yang ia bisa gunakan untuk menyangkal pernyataan itu, tapi bagaimana, Justin bisa membaca isi hatinya. Dari pada salah bicara dan membuat Justin semakin besar kepala, Agatha lebih memilih untuk tidak menjawab. Ia memandang lurus ke atas.

Cahaya bulan tampak redup, sementara bintang-bintang tidak menampakkan diri. Bulan terlihat kesepian.

"Ketika kau sedang bersedih, teman-temanmu justru menjauh pergi. Bukannya memelukmu dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja."

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now