Empat - Pasangan

617 63 24
                                    

.

"Kau bilang apa?"

Ketika Justin bertanya, gadis berambut hitam kecoklatan itu mengangkat dagunya tinggi. Berusaha memandang Justin serendah mungkin. Ia ingin terlihat lebih kuat, dan ia sama sekali tidak berniat untuk menerima lagi segala caci maki yang biasa Justin berikan. Agatha ingin membuat pria itu menyesal karena sudah macam-macam dengannya. Ah, apa Justin belum tahu kalau Agatha sering membawa medali emas dalam berbagai ajang perlombaan bela diri? Astaga, melihat Justin yang sama sekali tidak gentar setelah ditatap sedemikian rupa membuat Agatha makin geram saja.

"Aku bilang, orang itu adalah aku. Aku tidak keberatan dengan keberadaan Zayn." Gadis itu melangkah sedikit, berpindah posisi hingga kini berada tepat di hadapan pria berhidung mancung yang masih tak angkat suara dibuat olehnya. Agatha berdiri seolah ia adalah malaikat pelindung yang dikirim khusus untuk Zayn. "Justru aku keberatan dengan keberadaanmu, pria tidak tahu diuntung."

Justin berdecak. "Apa kau masih membahas yang semalam?"

Agatha memutuskan untuk tidak menjawab. Cih, masih saja pria bodoh itu bertanya. Bukankah dia masih punya mata dan otak normal untuk mengingat apa saja hal menyebalkan yang telah ia perbuat pada Agatha hanya dalam waktu kurang lebih dua hari? Benar-benar memuakkan.

"Jadi benar. Kau masih membahas soal tadi malam?" Justin terkekeh. Lantas memasukkan kedua tangannya yang kedinginan ke dalam saku mantel. Pria itu menghela nafas. Memandangi Agatha dan Zayn bergantian. "Aku sudah berterimakasih."

Agatha mendesis meremehkan. "Dan tidak ada hubungannya dengan kejadian ini." Gadis itu menarik nafas panjang. "Siapa kau? Mengapa kau membenci Zayn dan melarang aku dekat dengannya? Kau ibuku?"

"Jangan terlalu percaya diri, nona dengan pipi bulat."

Mata Agatha melotot saat itu juga. Oke-oke, siapa pula laki-laki yang berani mengejek Agatha dengan sebutan pipi bulat selain si jangkung reinkarnasi Apollo itu? Satu jagat raya juga tahu kalau pipi Agatha tidak bulat--maksudnya tidak bulat seperti yang dimaksud Justin. Pipi Agatha hanya chubby dan semua orangpun tahu kalau itu justru menambah nilai plus-plus untuk lekuk cantik wajahnya. Bayangkan jika Agatha memiliki pipi tirus, seperti model-model Victoria's Secret yang pipinya dishade dengan berkilo-kilo brownzer hanya untuk mendapatkan bentuk tulang pipi ideal yang tidak permanen. Justru akan terlihat aneh. Agatha jauh lebih alami dan tidak akan ada orang waras yang mengejek bentuk fisiknya mulai dari ujung kaki sampai kepala.

Gadis itu terkekeh sarkastik. Ia mengibaskan rambut hitam kecoklatannya ke belakang dengan hiperbolis. Entah mengapa hawa dingin di sekitar mulai tidak dirasakan lagi oleh gadis asal Seattle itu. Justru Agatha merasa sangat gerah sekarang. Oh, apa karena ada reinkarnasi Dewa matahari di dekatnya? Bisa jadi.

"Kita kesampingkan dulu perihal hubunganmu dengan Zayn. Ada satu yang lebih penting. Tadi kau bilang apa? Pipiku apa?"

"Bulat?"

"Nah!" Gadis itu nyaris saja berdecak gemas. Kurang tolol apalagi Justin yang masih tidak mengerti seberapa kesalnya Agatha sekarang. Justin justru memandanginya datar seolah ia tidak berbuat kesalahan apapun. Oke, mungkin Justin memang tidak melakukan kesalahan jika dilihat dari segi universal. Tapi bagi Agatha, Justin benar-benar kurang ajar!

"Siapa yang mengajarimu bilang begitu, ha? Siapa?" Gadis itu mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Kedua tangannya yang mungil ia selipkan di sisi dada.

"Kau ini apaan, sih?" Justin meninggikan sebelah alisnya. "Rotimu akan hancur jika kau genggam sekuat itu. Dan... kopimu sedikit lagi juga tumpah."

Alis Agatha beradu.

"Kau memang hobi membuatku susah, ya?"

"Lihat di sana Minerva!" Justin menunjuk ke arah barat, tepat di belakang tubuh Agatha. Sontak gadis itu memutar kepalanya mengikuti arah jari telunjuk Justin. Namun ketika baru saja ia menoleh ke belakang, gadis itu merasakan keseimbangannya perlahan menghilang. Agatha tidak lagi menapak, kakinya melambai di udara dan hal itu benar-benar membuat dirinya terkejut setengah mati. Agatha nyaris saja berteriak kalau ia tidak segera menyadari bahwa tubuhnya tengah berada dalam papahan seseorang. Ketika matanya bergerak, ia berhenti di suatu titik. Pada sepasang permata emas yang langsung membuat setiap detiknya berjalan begitu lambat. Tanpa Agatha sadari, bungkusan roti serta sekaleng kopi yang tengah ia genggam kini mencumbu lantai begitu saja. Menyeraki lantai tanpa ia pedulikan sama sekali. Detik selanjutnya, dengan rasa shock yang masih menjadi-jadi, Justin berjalan menyusuri koridor sepi masih sambil memapah Agatha dengan kedua tangan kekarnya.

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now