Lima - Pembantaian

545 70 16
                                    


Siang ini, kelas olimpus tidak melakukan kegiatan belajar-mengajar yang efektif seperti dua hari belakangan. Setelah jam istirahat berakhir, dua belas murid kelas olimpus digiring oleh Zeus menuju aula dengan paksa. Terlihat dari mata biru ke-abuan terang milik sang Dewa petir jelas menandakan bahwa ia sedang dalam mode marah besar. Tongkat tua panjang kelabu yang ia genggam erat dihentakkan pada lantai kuat-kuat tiap kali kakinya melangkah. Sementara di langit sana, petir saling bersahutan tiap hentakkan tongkat Zeus menghantam lantai.

Gadis bertubuh elok yang kini memakai pakaian minim di tengah cuaca yang dingin menghela nafasnya jengah sembari memutar mata. Gadis itu menyenggol pelan lengan Agatha yang kebetulan duduk di sebelahnya setelah mereka semua mendapat tempat duduk masing-masing yang acak--tidak seperti posisi duduk di dalam kelas. Agatha tersentak, kendati tetap menoleh hanya untuk mendapatkan profil wajah Madison yang tengah ditekuk habis-habisan bagai pakaian kering yang belum disetrika. Sejenak, Agatha bertanya-tanya rumus darimana yang berhasil Madison tuntaskan hingga gadis itu tetap terlihat amat mempesona dengan wajah yang notabenenya sedang ditekuk sedemikian rupa.

"Karena Horres, jam tidur siangku terkuras habis untuk mendengar celoteh panjang Zeus." Gadis itu menggerutu dengan mata yang lurus ke depan menatap pada Zeus yang masih sibuk berbincang dengan salah satu dewa dari kelas lain di ambang pintu sebelum celoteh panjang yang Madison maksud dimulai.

Agatha agak canggung. Ini salah satu dari sedikit situasi yang Agatha tidak suka. Bagaimana tidak, Madison bersikap seolah mereka adalah teman dekat sementara percakapan ini memiliki gelar percakapan pertama di antara mereka berdua. Agatha harus memutar otak untuk mencari sebuah jawaban. Apa ia akan menjawab dengan sok akrab juga, atau menggunakan bahasa formal saja?

"Err, Horres? Memangnya apa yang telah dia lakukan?" Berfikir hanya akan menguras banyak waktu berharga hingga situasi canggung tadi akan semakin menjadi. Oleh karena itu, Agatha memilih untuk berucap ala-kadarnya, pakai bahasa santai saja, bukan bahasa formal Prancis.

Madison menoleh, menampilkan kedua alis tebalnya yang sedang beradu sengit. "Kau benar-benar tidak tahu?"

Diam sejenak, selanjutnya Agatha menyuguhkan sepucuk cengiran yang konyol lantas menggeleng polos.

"Benar-benar tidak tahu? Atau pura-pura saja?" Agatha menggeleng lagi. Madison mendesah tak percaya sebelum tertawa terbahak-bahak.

"Kau tinggal dimana, sih? Goa?"

"Aku tinggal bersama Hailey di kamar yang bersebelahan dengan milikmu dan Ariana."

"Baiklah, itu tidak penting." Madison mengibaskan telapak tangannya di depan wajah. Lantas memutar tubuhnya hingga kini berhadapan dengan Agatha.

"Niall, kau tau dia kan?"

Agatha kali ini mengangguk. Madison mengulum senyum tipis seolah ia berkata akhirnya bocah ini tahu sesuatu setelah berulang kali Agatha hanya menggeleng sejak tadi. "Dia dewa perang, dewa pembantaian."

"Aku tahu," Agatha memasang wajah seolah ia tahu segalanya, berusaha tidak terlihat sebodoh yang Madison fikir. "Sampai sekarang aku masih berfikir kenapa dia tidak jadi pasanganku? Aku dewi perang dan dia dewanya, iya kan?"

"Tidak begitu cara Zeus memilih pasangan. Entahlah, hanya dia yang tahu. Buktinya, aku tidak sepasang dengan Luke, aku justru berpasangan dengan si Horres itu. Tapi, ku fikir Zeus tidak salah memilihmu untuk menjadi pasangan Justin. Kalian memang serasi,"

Mata Agatha mendelik. "Apa yang ada di dalam kepalamu?!"

"Otak?" Madison terkekeh. "Kau juga disebut dewi pemanah, iya kan? Dan Justin adalah dewa pelindung para pemanah. Singkatnya, dia adalah pelindungmu. Bukankah itu romantis?"

Goddes ReincarnationWhere stories live. Discover now