● Chapter 7

267 142 35
                                    

Disaat tetesan air mengguyur wilayah desa, sepasang pemuda-pemudi tengah terlelah di bantaran laut. Sosok yang perempuan terkapar dengan kulitnya yang pucat. Sedangkan yang lelaki terus saja memusatkan tenaga kedua tangannya untuk memberi tekanan pada dada orang itu.

Rasa gundah dan bersalah hampir meliputi nuraninya. Ia pun juga sedikit merasa benci dengan sosok dibawahnya.


Will sama sekali tak tahu bagaimana cara menangani gadis tersebut. Ia hanya terus menekan tulang dadanya. Alhasil sang gadis mengeluarkan air dari mulutnya dan membuka kelopak matanya yang sedikit merah.



Usai sadar, Daisy mencengkram dadanya dan merintih-rintih. Air matanya tak terlihat karena serupa dengan tetes air hujan.

Will segera bangkit, "berdiri! Hujannya udah tambah deras. Pergi sana sebelum petir ada!"

Daisy tetap tersendu, sembari merasakan sesak dalam dadanya.

"Apa tadi sakit, huh?" Will tersenyum miring dan berbalik untuk beranjak.


Langkahnya dihentikan. Lalu ia bercakap tanpa berbalik atau menoleh.

"Lain kali, nggak usah bertindak sok peduli orang lain! Karena orang lain gak akan peduli sama lu. Tanggung sendiri akibatnya." Will melangkah pergi.



Daisy terus menangis meratapi kepergian orang itu. Tengah disana, ia sangat membutuhkan bantuan Will untuk dapat berdiri dan pergi.

○○○

Will mulai muak. Bukan dengan Daisy melainkan pada dirinya sendiri. Dia dipenuhi kebencian mendalam dan dendam tersendiri untuk kedua orangtuanya.

Di jalan yang dingin, ia menahan tangisannya. Kebencian yang dirasakannya memuncak ketika memorinya terputar. Ia sama sekali tak ingin menyakiti orangtuanya, namun sakit hati memaksanya terus-menerus.

Kenapa mereka tega?!

Kini karena mereka gua nggak bisa hidup tenang. Yang dapat dilakukan hanya menunggu polisi datang dan menderita di tempat yang sama.

Will tetap tak menangis. Dia sangat pandai menyembunyikan perasaan. Dia mengeluarkan pisau lipatnya.


Terlintas kejadian terburuknya. Saat-saat ia menyelinap masuk untuk melenyapkan keluarga terkasihinya. Ketika ibunya yang sudah tersayat menangis memohon ampun. Ia mematung ketika menyadari kesalahanya yang diluar batas. Ia menjatuhkan pisaunya, disaat itu pula ayahnya datang dengan tanpa ekspresi menodongkannya ujung revolver.



Tak ingin berlanjut dalam rasa bersalah, Will menjerit keras sampai urat dilehernya terlihat. Tanpa pikir panjang ia menyayat pergelangan tangannya ditengah hujan melanda.

○○○

Namun hidup itu ironi. Dengan darah yang mengucur deras, Will tersenyum bahagia.

"Will!" Siapa sangka ada malaikat kiriman yang membatalkan rencana bunuh diri Will.

Daisy menyeret Will ke pendopo desa yang kosong untuk berteduh, disana dengan paksaan ia mengikat tangan Will dengan ikat pinggangnya guna menahan aliran darah yang memancar keluar.

Will tak dapat lagi melawan, lesu dampak dari kehilangan cukup banyak darah.


Semakin lama kematian akan menjemput. Daisy tahu itu, ia jadi menangis menyadari tak dapat menyelamatkannya. Daisy tak dapat memanggil bantuan karena di luar petir membara. Hanya dapat menghitung waktu.

Kinji Rareta AiWhere stories live. Discover now