● Chapter 19

193 44 28
                                    

Daisy

Dokter itu berdiri tegap. Dari matanya menyatakan ucapannya serius. Apa-apaan dia?

"Kau menawariku karena tidak sanggup hati memecatku, kan?"

"Bukan, aku sungguh menginginkanmu. Kau mau, kan? Pekerjaan ini lebih nyaman. Tidak ada pasien lain, hanya aku."

Aku semakin bingung. Jelas aku bodoh, tapi dia malah menawariku pekerjaan yang lebih baik? Ini tidak logis.

"Kau sakit apa?"

"Tidak ada riwayat penyakit apapun. Tugasmu hanyalah memantau kesehatanku. Aku selalu sibuk, maka itu siapkan makanan sampai minuman yang tepat. Vitamin adalah yang utama. Oh ya, mataku menderita presbiopi* berat. Pastikan aku meminum obat yang tepat. Jika telat mataku akan terasa pusing."

Aku terdiam dan belum menjawabnya. Sebenarnya, apalagi yang ku tunggu?

"Lalu, ada satu syarat juga. Jika kau sudah menjadi perawat pribadiku. Kau harus mematuhi apapun bentuk perintahku dan waktu kerja akan bertambah menjadi lebih lama."

Aku kecewa. Walau sembrono, tujuanku bekerja di rumah sakit adalah menolong banyak orang lain, tidak seorang saja. Bukan untuk mereka, melainkan diriku juga. Menolong orang membuatku merasa berguna dan lebih bisa menghargai diriku sendiri.

"Tapi..."

"Tapi apa?"

Aku terdiam. Ingin menolak tapi tak sanggup. Jika aku melewatkan kesempatan ini, aku tak tahu harus bekerja dimana lagi. Aku yakin sebenarnya ia tak ingin aku menjadi perawat anastesi di rumah sakitnya lagi.

Sebelum bibirku berucap, dengan pandai ia membaca pikiranku. "Apa kau ingin mendedikasikan dirimu untuk yang lain juga?"

"Iya."

"Aku mengerti. Jadilah perawat pribadiku dan kau akan mendapat waktu untuk mencapai prioritasmu."

Seperti sihir, ucapan singkatnya memacuku untuk setuju. Aku mengiyakannya dan mulai bekerja dengannya.

Bekerja dengannya memang mudah. Hanya duduk di sofa kantornya, membawakannya makanan dari dapur ahli gizi, memberi vitaminnya, dan sediakan obatnya.

Tapi ada satu hal yang cukup merepotkan. Ketika aku menaruh nampan berisi makan siangnya, dia memperhatikan warna kuku pada jariku. Dia segera berdiri dari kursinya, mengeluarkan senter kecilnya dan memeriksa kelopak mataku.

"Kau anemia. Mulai sekarang perbanyak konsumsi bayam, daging merah dan telur. Lalu sekarang," dia mengambil notenya dan mencatat sesuatu. "Pergilah ke bawah untuk meminta menu ini. Lalu, beri resep obat ini pada salah satu petugas farmasi. Jangan lupa diambil sebelum pulang."

Aku bingung. Dia sangat teliti padaku. Perlakuannya seakan-akan dia yang menjadi dokter pribadiku. Aku tidak mengerti. Semenjak itu dia menyuruhku untuk menjadi vegetarian, setiap pagi dia memaksaku ikut berolahraga, minum vitamin dan susu khusus setiap hari darinya dan terima omelannya jika aku ketahuan sakit. Mulanya begah karena mendadak dipaksa mengubah gaya hidup normalku menjadi 'berlebihan' seperti ini. Tapi setelah beberapa hari, aku dapat mulai terbiasa.

"Kontakmu masih aktif pada pagi buta."

"H-hah?" Sudah aku bilang, dia sangat teliti dan berlebihan. Pantauan darinya begitu ekstra. Tapi tetap saja aku lengah!

"Apa kau mau insomnia?" Wajahnya berubah menjadi datar jika aku tidak melakukan perintahnya.

"M-maaf," Pintaku. Dia menghampiriku membawa kotak kecilnya. Dikeluarkan sebuah suntikan dan digunakannya pada tanganku. "Apa kau sudah tes kesehatan bulan ini?" Tanyanya untuk mengalihkan perhatian. Aku hanya diam dan menunduk merasakan jarum panjang menembus dalam kulitku.

Kinji Rareta AiWhere stories live. Discover now