● Chapter 32

95 11 0
                                    

Tangan besar itu mencengkram erat dadanya. Tangan satunya lagi berusaha meraih kotak obat di atas nakas. Will lupa dengan perkataan Hana jika tablet itu adalah amfetamin. Dia meminumnya dan berharap rasa menusuk itu mereda.

Dia tak pernah menyangka. Penyakit ini akan membunuhnya perlahan. Jika boleh pilih, ia memutuskan untuk langsung mati saja.

Dia lekas bersandar pada tembok. Mulutnya tak henti meringis ketika menulis surat wasiat.

Keadaan sakit hati bercampur aduk dengan penderitaan dari tubuhnya yang melemah. Dia sudah mengguyur basah wajahnya dengan air mata sambil meremas dadanya.

Cih... sialan.

Will mengatur nafasnya dalam-dalam. Mungkin karena faktor stress, Will jadi tak bisa mengontrol takikardia-nya.

Sekuat apapun orang. Ia tak akan tahan dengan nyeri angina, penyakit jantung adalah faktor utama kematian dari sebagian besar manusia.

Will mengambil pistol rakit miliknya dari peti di bawah ranjang. Dia mengarahkan lubang peluru tepat di dalam langit-langit mulutnya. Hal ini dia lakukan agar langsung menembus otaknya dan mati.

Tangisnya merajalela. Mulai berubah menjadi geraman dan umpatan kasar. Will tak berani menembak diri. Dia membanting jauh pistolnya itu.

Tapi tak selesai di sana.

Sepasang mata Will melihat pintu balkon kamar VVIP miliknya. Gorden tipis di sana tersibak halus seolah mengajak Will untuk bunuh diri dengan cara lain.

Will tersenyum miris. Lalu bangkit berdiri dengan rintihan.

Maaf ibu, ayah, semua harus diakhiri sekarang!

○○○

Dengan latar taman bungan lavender, Daisy berdiri dengan gaun berwarna violet. Gaunnya begitu panjang hingga menjutai ke bawah kakinya. Di bagian pinggangnya sedikit ketat, sehingga memperjelas lekuk tubuhnya. Rambut Daisy dicepol dengan beberapa helai yang terlepas menambah pesonanya.

Di samping Daisy ada Darrel, ia menggunakan tuxedo bermodel british style berwarna hitam. Dasi dan lining khusus ditepian tux berwarna violet. Senada dengan Daisy.

Mereka mengabadikan foto pra-weddingnya.

Setelah itu, mereka beristirahat di hotel. Entah mengapa, Daisy tiba-tiba mengingat kejadian tadi pagi.

"Aku bertemu Will," kata Daisy.

"Oh, ya? Lalu?" Perasaan Darrel sangat tidak jelas. Ia agak cemburu tapi tidak mau Daisy bersikap kasar pada Will. Apalagi sampai membuat Will tambah terbebani pikiran. Hal sekecil itu bisa berdampak pada nyawanya.

"Dia memelukku."

Darrel tetap tergemap dan tidak berkata atau bermuram pada Will atas kelakuannya.

"Darrel, aku tidak mau lari dari dia terus. Tolong jauhi kami. Jangan terima dia di rumah sakitmu!" Perintah Daisy.

Darrel makin diam. Dia senang jika Daisy berniat menjaga perasaan sensitif Darrel, tapi dia juga merasa tidak enak hati pada Will. Karena Darrel, Will jadi diasingi dan dijauhi Daisy. Padahal Will sudah berkorban banyak untuk Daisy.

Darrel tak berkutik. Dia hanya tersenyum, memengang rahang Daisy dan memberinya kecupan.

"Jangan gundahi hal itu. Fokus saja dengan acara pernikahan kita nanti. Jangan membebani pikiranmu. Nanti kau sakit,"

"Baiklah."

○○○

Darrel

Tepat pulang dari hotel, kami kembali ke rumah sakit.

Kinji Rareta AiWhere stories live. Discover now