[2] Cascade - The Hunter of The South

15.4K 1.8K 366
                                    

"Ouch, mentimun sialan!" seruku panik ketika salah satu anak panahku tak sengaja menggores lenganku.

Goresan tipis muncul di permukaan kulitku. Yah, jika dibandingkan dengan lukaku yang lain, ini memang tidak seberapa sih. Namun tetap saja sakit! Banyak orang mengira aku terbiasa dengan rasa sakit lantaran terlalu sering berkelana di hutan untuk berburu kemudian terluka. Well, tebak apa? Sama. Sekali. Tidak! Maksudku, halo? Kalian pikir aku tak punya syaraf? Tentu saja sakit!

Dan batangan panahku kini patah. Hebat sekali. Sial ganda.

"Apa yang kau lakukan?" Sebuah suara menegurku.

Kutengadahkan kepalaku. Bibiku berdiri seraya memegang bakul anyamnya, sementara terdapat sedikit noda tanah di ujung-ujung gaun berwarna gadingnya.  Pasti ia sehabis dari ladang dan bakul itu berisi rempah-rempah. Kuharap ia membuat sup ayam malam ini karena oh astaga, kemarin aku melihatnya membeli ayam di pasar! Bayangkan kaldu penuh cita rasa itu! Aku pernah menghabiskan enam porsi sekaligus! Enam ayam!

"Membuat anak panah," jawabku.

"Astaga, kita masih punya seperti ... berapa? Berlusin-lusin anak panah di kamarmu? Dan kau masih membuat lebih banyak anak panah lagi? Lama-lama seisi rumah isinya hanya anak panah!" ujar Bibi Leigh sambil menggeleng-geleng.

Aku mengusap tengkuk kikuk. "Aku bosan."

"Lebih baik kau berburu rusa atau ikan di sungai, Cascade. Aku yakin kau belum memberi makan Calliope tadi pagi," sahut Bibi Leigh.

"Calliope masih tertidur di kandangnya tadi pagi, aku tak tega membangunkannya. Tentu saja aku belum memberinya makan," balasku.

Bibi Leigh kemudian berlalu lewat jalan setapak. Kami tinggal di pondok tingkat di ujung gang pemukiman. Aku hanya tinggal berdua dengan Bibi Leigh, orangtuaku sudah lama tiada. Bibi Leigh bekerja sebagai tabib. Ia begitu ahli membuat berbagai macam obat, meracik apa pun termasuk masakan dan minuman. Percayalah, sup ayam dan teh racikannya adalah yang terbaik.

Tadinya aku tinggal bersama kedua orangtuaku di pondok lain. Lokasinya agak jauh dari pemukiman. Bisa dibilang keluarga kami penyendiri. Theron dan Rudra Vaihere adalah pemburu terbaik di Oceanus nomor 15 ini sekaligus ketua dan wakil ketua Hunter Society. Mereka pintar meracik racun beserta penawarnya dan membuat berbagai senjata. Aku ingat sekali ketika aku kecil dan masuk ke dalam gudang senjata ayahku, dari lantai hingga dindingnya dipenuhi banyak senjata dimulai dari anak panah, tombak, bilah-bilah pisau, hingga senjata yang mereka buat sendiri.

Aku berusia sepuluh ketika mereka pergi berburu ke hutan terdalam di balik Gunung Valika. Butuh waktu hingga tiga hari untuk ke sana. Aku tidak diizinkan untuk ikut dengan mereka. Selama berhari-hari itu ibuku selalu mengirimkan kabar lewat Karlis, merpati hitam pengantar pesan kesayangannya. Mereka hendak memburu seekor hewan buas: pantherano. Mereka begitu tersembunyi dan tak menyukai manusia.

Ibu bilang perjalanan mereka hanya berlangsung selama sembilan hari. Namun hingga dua minggu berlalu mereka tak kunjung pulang. Karlis juga tak kunjung muncul. Lalu suatu hari kawan mereka tiba di pondok Bibi Leigh dengan pedatinya. Di belakangnya menyusul dua kuda palomino dan hitam milik orangtuaku. Pedati itu diselubungi kain gelap. Dan begitu pria itu menyingkapnya, terungkaplah jasad Theron dan Rudra Vaihere, pasangan pemburu dari selatan. Pakaian berburu mereka bersimbah darah, dengan beberapa luka parah di tubuh mereka. Rusuk ibuku bahkan remuk sebab rahang pantherano yang kuat. Karlis berada di sisi Ibu, meringkuk dengan setia.

Bibi Leigh memutuskan untuk menjual rumah mereka setelah itu. Senjata-senjata berburu diserahkan ke komunitas Hunter Society dan aku pun diasuh olehnya. Tak seperti kakaknya, Rudra Vaihere, yang merupakan wanita pemburu tangguh, Bibi Leigh tak menyukai kegiatan berburu. Ia tabib terbaik di Oceanus 15 ini.

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now