[15] Troya - Nemesis Deal

4.7K 951 117
                                    

KEPERGIANKU dari Oceanus 27 disertai oleh buah tangan nan getir bernama kegelisahan. Bukan gara-gara sikap Bangsa Glacer, atau perang yang jelas-jelas kami menangi, atau ketakutan perihal balas dendam Quasso, terutama tidak karena cemas mengenai makhluk macam apa yang hendak kami lawan. Faktanya, kemenangan kami dua kali berturut-turut mau tak mau menjadikanku lebih optimis dan percaya diri.

Aku justru gelisah karena setelah perjalanan melintasi laut ini berakhir, Cascade dan aku harus mendarat di tujuan kami berikutnya, yakni Oceanus 2, negeri bangsa raksasa.

Pada satu momen belakangan ini, aku yakin pernah mengatakan betapa bangsa naga dan raksasa membenci satu sama lain. Persaingan kami telah berjalan selama bergenerasi-generasi, hanya saja semakin beradab seiring bergantinya zaman. Beradab yang kumaksud di sini adalah kami tidak lagi saling membunuh secara terang-terangan sebagaimana yang dilakukan kakek-nenek moyangku dahulu kala. Selaku bangsa shapeshifter naga yang senantiasa haus pertempuran, kuakui bahwa aku sungguh tidak masalah jika harus hidup di zaman ketika perang masih merupakan rutinitas dan kebiadaban tersebar di seluruh pelosok dunia.

Para Tetua menyebutnya Zaman Perang Kuno. Era keemasan bagi kami kaum naga. Sekadar mendengar kisahnya saja berhasil membuat kebanggaan meletup-letup di pembuluh darahku. Kuakui para naga memang sombong, tetapi setidaknya mereka punya banyak yang bisa disombongkan. Kejayaan, harta, kekuatan, keindahan; segala hal yang dimiliki bangsa lain, kami pasti memilikinya.

Suasana cenderung tenang selama aku mengudara. Tidak ada bunyi-bunyian mengganggu selain deru angin dan ocehan konstan Cascade—tentu saja, apa yang kuharapkan? Setidaknya aku mulai terbiasa menulikan telinga acapkali dia berbicara terlalu lama dan terlalu berisik mengenai sesuatu yang terlalu tidak penting.

Ah, pemburu itu sedang melakukannya sekarang.

"Menurutku aneh," katanya setengah berteriak melawan angin, "mengingat kau bersikap baik sekali kepadaku belum lama ini, dan sekarang kau malah kembali menjadi ... " Dia membiarkan kalimannya menggantung. Namun, aku mengerti.

"Ya," gerungku seadanya.

Hening sejenak. Kemudian Cascade bertanya, "Ada apa?"

"Tidak ada. Tutup mulut."

"Apakah aku berbuat salah?"

"Bukan urusanmu." Seandainya kau berbuat salah, aku pasti sudah meneriakkan itu di wajahmu.

Cascade ber-hm panjang. "Tahu, tidak? Terkadang kau benar-benar mustahil diajak berkompromi."

Entah mengapa aku yakin nada suaranya tak menyiratkan kejengkelan. "Masa?" sahutku, mencoba mengganti topik pembicaraan ke arah yang tidak perlu mengungkit-ungkit masalahku. "Kukira kita adalah tim yang baik."

"Memang!" gerutu Cascade. "Jangan mengalihkan topik, Troya."

"Sudah kubilang, tidak ada apa-apa."

"Troya Orthros." Cascade terus menekan.

"Duduk dan diamlah. Demi Oceanus, tidak bisakah kau melakukan itu?"

Erangan frustrasi. "Jangan suruh aku diam, aku khawatir!"

Bara api menggelitik tenggorokanku, gatal, minta dilepaskan. "Kalau begitu, belajarlah menerka-nerka kapan seseorang sedang tidak ingin diajak bicara!" bentakku. Lalu, sebelum berubah pikiran, aku segera menambahkan, "Simpan kekhawatiranmu buat orang yang membutuhkan, pemburu. Tidak usah bertingkah seolah kita adalah teman dekat. Aku tidak mau berbuat sesuatu yang nanti akan kita berdua sesali."

Itu adalah kalimat terpanjang yang kukatakan kepadanya hari ini, dan kalimat barusan juga sukses membungkam Cascade. Kemudian kami sama-sama terdiam. Aku tahu perkataanku menyakitkan, tetapi kegusaran yang melanda benakku mematikan perasaanku untuk peduli.

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now