[4] Cascade - The Deceased One

8.9K 1.3K 295
                                    

Cascade Moodboard created by BYBcool on mulmed.

**

"Itu menjadi tujuh keping emas," kata penjual tali tambang.

"Apa kau bercanda? Bung, serius?!" sergahku tak percaya. "Maaaan, biasanya tiga!"

"Berhenti memprotes atau tidak usah beli sekalian," balasnya seraya merebut kembali seikat tali dari tanganku.

"Ah, ayolah, bung. Aku langganan toko ini. Bahkan ayahku juga berlangganan di toko ini! Ayolah, beri Cascade yang malang ini diskon," pintaku.

"Hah, bibimu adalah tabib terbaik di sini, mendiang ayahmu juga sukses. Tidak ada diskon!" Ia menatapku sengit sembari bersiap-siap menyimpan kembali talinya.

"Baiklah, baiklah." Aku terpaksa mengeluarkan kepingan uang dari saku seraya menggerutu. Sial sekali, uangku tinggal sepuluh keping emas sekarang. Aku padahal masih ingin membeli cokelat di toko permen Madame Lagara. "Ini."

Seringaian terulas di bibir lelaki paruh baya itu. Sebagai balasannya, ia melemparkanku seikat tali tadi. "Terima kasih, Cascade. Kau memang pemuda baik hati nan gagah."

"Hah, begitu baru memuji." Aku mendecih sinis sebelum menyimpan tali tambang tersebut ke sabuk di pinggangku.

Tudung jubah gelap menutupi rambut hitamku. Tak seperti kemarin, cuaca hari ini cerah. Matahari menyingsing dengan lembut di atas sana. Udara terasa dingin meski sinar matahari menyiram negeri ini. Aku melangkah seraya menghindari orang-orang demi tidak saling menabrak, kota cukup padat hari ini. Beberapa orang berlalu-lalang dengan menggunakan kuda, pedati dan kereta yang ditarik dengan bagal atau sapi. Sayang sekali aku tak memiliki kendaraan lain yang wajar seperti kuda atau bagal. Jarak pondok ke alun-alun kota cukup jauh dan biar kuberi tahu, berjalan seperti ini cukup menguras tenaga.

Dalam hati aku merutuk. Aneh memang. Aku terbiasa berjalan ribuan kilometer di hutan tetapi tepar berjalan sekitar ratus meter di kota. Menyewa kereta kuda? Meh, aku tak ingin menghabiskan tiga keping emas dari sisa sepuluh keping emasku yang tersisa. Aku tak berburu dua hari ini, kurasa hari-hari yang sial.

Mata hijau zamrudku menangkap sekumpulan tentara kerajaan. Mereka berbeda dari biasanya. Sudah beberapa kali ketika aku pergi menuju alun-alun pagi ini, kutangkap mereka melapor hal berkali-kali---yang menurutku aneh sebab tak biasanya mereka melapor hal ke satu sama lain dengan secepat itu. Jangan lupakan juga aku sempat berpapasan dengan satu pasukan prajurit-prajurit itu. Mereka pergi mengarah ke pinggir Oceanus.

Tak mampu menahan rasa ingin tahu---aku lemah dalam menahan rasa ingin tahu---kuhampiri salah satu prajurit. Layaknya pemburu, ia mengenakan beberapa lapis pakaian. Lapisan pertama adalah pakaian biasa dengan bahan yang kuat; lapisan kedua merupakan armor perak, dengan lambang kerajaan Oceanus 15 yang terukir di dada: busur dan anak panah dengan rusa jantan di tengahnya; lambang pemburu.

"Pagi, Prajurit," sapaku sambil membungkuk penuh hormat.

Prajurit itu menunduk kecil. "Pagi, Pemburu."

"Ada apa gerangan? Pagi ini aku melihat pasukan tentara kita pergi menuju pinggiran Oceanus. Apa ada sesuatu?" tanyaku sesopan mungkin.

"Aku pun belum bisa menjawabnya dengan pasti, Pemburu," jawabnya. "Penjaga di pinggir Oceanus menangkap sesuatu dari teropongnya. Raja Arawn memerintahkan Jenderal Kaelan untuk mengerahkan pasukannya agar berjaga di pinggir Oceanus."

"Bukankah itu bisa jadi merupakan Oceanus lain?" tuturku, mengangkat alis.

"Kemungkinan besar, ya. Mengingat tak ada daratan tetap di muka bumi ini, hanya enam puluh ekor Oceanus yang selalu bergerak." Prajurit itu menerangkan, "Tetapi kau tidak akan pernah tahu, bukan?"

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now