[5] Troya - Two Sided Monster

7.1K 1.2K 189
                                    

Troya Moodboard created by queenrexx on mulmed.

**

AKU tidak butuh dua puluh empat jam penuh untuk membenci seorang Cascade Vaihere. Cukup lima menit lepas tersadar dari pingsan, tepat ketika wajahnya yang dipenuhi rasa penasaran muncul di hadapanku, ia telah resmi menjadi bagian dari tikus-tikus pengganggu di hidupku.

Baiklah, tikus pengganggu yang sedikit berguna, sebenarnya. Tapi tetap saja tikus. Pengganggu pula, sebab mau dilihat dari sudut pandang manapun, ialah pihak yang mesti bertanggung jawab mengapa aku-kami berdua-ada di istana Oceanus 15 tempo hari lalu. Kerajaan lagi. Keramaian lagi. Kebisingan lagi! Orang-orang tak henti-hentinya menudingku sebagai penyebab kematian Oceanus 21, yang jelas tidak sepenuhnya benar. Aku cuma menghancurkan satu permukiman. Sisanya, silakan salahkan para monster yang tergabung dalam pasukan Quasso ... kalau memang ada lagi yang ditinggalkan selain aku di Oceanus tersebut.

Dadaku bergemuruh mengingat pengkhianatan busuk yang dilakukan Quasso. Rasanya murka luar biasa, dan kecewa, mengetahui penyebab aku digantikan bahkan sampai ingin dibunuh adalah karena kekuatanku ditandingi oleh pihak lain. Elias Wind sang naga langit, kesatria sampah dan ahlinya menerbangkan debu. Aku telah bersumpah atas namaku sendiri agar membuat kematiannya menyakitkan.

Kudengar sebuah suara familiar memanggil ragu-ragu, "Ehm, Troya?"

Aku melepas topangan daguku di bingkai jendela pondok, menoleh ke arah Cascade yang entah sejak kapan sudah menyodorkan segelas air. "Ha?" Ketika kubuka mulut, barulah aku tersadar mulutku tengah mengepulkan asap.

"Ini mungkin berat bagi seorang naga, uh, seekor manusia-maksudku, shapeshifter, apa pun jenismu itu, tapi bisakah kau hentikan ... " Telunjuk Cascade berputar-putar di udara, meniru gerakan asap dengan payahnya. "Beberapa pasukan militer mengintai kita. Bisa gawat kalau kau menunjukkan tanda-tanda mau berubah."

"Tidak sama sekali," bentakku pelan. Tak ada niat untuk berdebat, apalagi setelah tahu pribadi Cascade yang jauh lebih banyak omong dibanding diriku.

"Setidaknya minumlah dulu. Segar, kok. Dijamin tidak seperti ramuan herbal yang kau minum kemarin." Ia menyodorkannya kepadaku, setengah memaksa. "Ayolah. Sekadar menenangkan. Bukannya aku sok tahu, hanya saja kau bertingkah semakin murung sejak-"

Cascade berhenti bicara ketika tanganku merebut gelas dari tangannya. Sambil menghabiskan air, aku melotot kesal ke arahnya, memerhatikan bagaimana raut wajah si pemburu berangsur puas. Kendati amarahku lumayan mereda, aku tetap tak suka merasakan kobaran api di dasar tenggorokanku padam.

Senyum Cascade merekah begitu menerima gelas yang kini kosong. "Bagus!" serunya. "Pondok ini aman buat beberapa menit ke depan."

Bola mataku berputar, kembali memandang cakrawala di luar jendela. Aneh rasanya mendapati pepohonan mendominasi pandangan alih-alih bentangan perumahan yang terselimut awan. Tak ada embusan angin kencang, tak ada ketinggian curam yang menyambutku ketika melongokkan kepala. Rerumputan kelihatan begitu dekat dan terjangkau, tanganku mampu meraihnya tanpa perlu menukik turun dalam wujud naga.

Di Oceanus 15, tepatnya di dalam pondok sederhana yang ditinggali Cascade dan bibinya, aku merasa ganjil. Aku merasa sempit. Tidak muat bagai guci yang dipaksa masuk ke dalam laci. Sarang semut bukanlah tempat bagi seekor kalajengking, tak peduli seberapa baik si semut telah memperlakukan pemangsanya.

Kuhela napas pelan, keganjilan ini harus segera diakhiri. Aku tak bisa bertahan sampai sidang kedua diumumkan.

Cascade tidak ada saat aku mengalihkan pandangan kembali kepada dirinya. Aku sudah menebaknya; takkan ada keheningan berlangsung selama itu seandainya ada Cascade di dekat sini. Ia bagaikan bel berjalan yang menjerit minta dihanguskan tiap kali bersuara. Setidaknya, begitulah yang pendengaranku tangkap. Entahlah. Kebanyakan makhluk terdengar seperti itu jika suasana hatiku sedang tidak baik.

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now