[3] Troya - Beginning of Destruction

10.3K 1.4K 159
                                    

Troya Moodboard created by BYBcool on mulmed.

**

SELUSIN telapak kaki milik anggota keluarga para dewan dikabarkan melepuh akibat seranganku di koloseum. Ironisnya, tidak ada yang menyalahkanku. Raja Harrington beranggapan bahwa insiden tersebut murni karena ketidaksengajaan dan ketidaksiapan panitia. Ayahku, meski menolak berbicara denganku sepanjang perjalanan, pun tidak buka suara untuk menghukumku. Kuharap ia sadar dari mana aku mendapat inspirasi untuk membakar kaki orang-orang.

Senja sudah menyapa sesampainya kami di kaki Gunung Pollux. Istana keluarga Orthros yang menyatu dengan lereng tampak menjulang menembus langit, menyembunyikan setengah bagian teratasnya di balik gumpalan kabut berawan. Gerbang batu setebal tiga puluh senti tidak pernah dibuka; kami tak pernah menggunakannya. Kenapa? Sederhana. Karena—ayah mengubah wujud dan membubung di udara, melesat cepat memasuki istana diikuti ibu tak jauh di belakangnya—itu.

Titania mencuri lirik ke istana, cukup lama sampai ia berpaling kepadaku. Ekspresinya kosong selagi ia berucap lirih, "Kenapa kau melukai mereka?"

"Pelampiasan emosi," jawabku gamblang seolah itu sudah jelas.

Titania tidak membalas. Ia lantas membalikkan tubuh, bertransformasi sejenak sebelum melejit ke atas. Dari lintasan terbangnya, kurasa ia akan mendarat di jendela kamarnya alih-alih aula utama istana.

Tidak ada perayaan apa-apa. Ayah pasti langsung tertidur mengingat betapa melelahkan hari ini berjalan, sementara ibu akan mengurung diri di dalam perpustakaan, seperti yang rutin dilakukannya tiap malam. Aku tak tahu sedang apa Titania di kamarnya. Mungkin menangis, memikirkan segala pencapaianku yang takkan pernah berhasil diraihnya; menyesali eksistensinya sendiri yang terlahir untuk mengecewakan.

Bahagianya keluarga kecil kami.

Niat awalku saat tiba di istana adalah beristirahat di kamar. Namun, rasa lapar yang menyerang memancingku untuk berjalan lurus ke ruang makan. Aku berjalan santai melintasi koridor-koridor luas, sedikit pun tak terganggu akan gemerlap perhiasan dan bebatuan mulia yang terpampang di dinding. Perabotan mahal bernilai ratusan keping emas pun tak pernah absen memanjakan mataku; mereka berdiri di sudut-sudut koridor, menjadi ajang pamer tak terkalahkan seandainya kami kedatangan tamu.

Aku mendapati pintu ruang makan terbuka begitu langkahku berbelok di koridor terakhir. Di dalamnya, hadirlah sosok Kakek Olivander, mengisi satu-satunya bangku di sepanjang meja makan.

Bicara tentang beliau, Kakek Olivander berhak tinggal di istana karena ia merupakan satu-satunya Orthros murni selain keluarga intiku. Istri Kakek Olivander meninggal karena sakit dua tahun lalu, nenek-kakekku tewas ditelan monster laut, sedangkan bibiku berkelana ke Oceanus lain dan sudah tak terdengar kabarnya. Tak heran istana ini menjadi kosong melompong, beberapa kamar barangkali sudah menjadi sarang hantu.

Kuambil sepotong besar daging domba bakar sebelum melahapnya sambil berdiri. Selezat-lezatnya domba, aku lebih memilih mermaid mentah.

Kursi yang diduduki Kakek Olivander berdecit saat ia bergeser mundur. "Aku sekarang paham kenapa kau suka acara unjuk kemampuan," ujarnya, mengundang tawaku.

"Aku tidak berniat melakukannya."

Ia menatapku sebentar dengan mata tuanya yang berkilat. Masih tajam meski pudar termakan usia. Sebelum melangkah pergi, ia menambahkan, "Tentu saja." Terkadang sulit menerka arti ucapannya, tetapi begitulah Kakek Olivander yang kukenal.

Makan malam singkatku selesai tak lama kemudian. Daging domba seukuran paha orang dewasa itu tandas dengan cepat beserta segelas besar air mineral. Aku bersendawa keras, secara tak sengaja menyemburkan api dan membakar beberapa nyamuk. Rasakan!

Oceanus: The Breathing IslandWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu