[17] Troya - Ancient Light

4.1K 880 216
                                    

PERAYAAN bangsa raksasa atas kemenangan mereka hari ini ternyata tidak seheboh yang kubayangkan. Malahan, suasananya jauh lebih mirip upacara pemakaman.

Tidak heran. Serangan tak terduga dari sepasukan naga berhasil menghancurkan formasi dan strategi awal pasukan Raja Erago, memaksa mereka untuk membuat rencana darurat yang pastinya memerlukan banyak tenaga sekaligus pengorbanan.

Makan malam selepas pertempuran berlangsung sendu. Raut para raksasa ketika mereka menyantap hidangan menunjukkan seolah-olah lidah mereka tidak mampu mengecap rasa. Tong-tong bir diangkat tanpa nyanyian, tiada kisah-kisah menarik tentang bagaimana mereka berhasil menaklukkan musuh.

Tempat-tempat yang dijadikan lokasi perang masih menyisakan bekas-bekas pertempuran hebat. Sekitar setengah kilometer dari istana, melampaui gerbang yang terbuka lebar, aku mendapati mayat-mayat bangsa raksasa, troll, ogre, dan naga saling bercampur dan bertumpukan. Senjata-senjata rusak berserakan di seputar mereka. Kolam warna-warni yang tidak lain adalah kubangan darah memenuhi setiap lubang pada tanah. Merah untuk bangsa raksasa dan naga; hijau untuk bangsa troll dan ogre.

Pemandangan itu niscaya memuakkan siapa pun yang melihat, maka tenda-tenda makan malam sengaja didirikan sejauh mungkin dari gerbang utama. Para prajurit berkumpul di tengah kabut kesedihan dan tidak ada yang keluar-masuk istana kecuali demi sesuatu yang lebih penting dibanding perasaan mereka.

Bagiku yang berniat menyendiri, posisi tersebut menguntungkan bukan main. Aku bersandar ke tembok gerbang selagi para raksasa menikmati acara suram muram yang mereka sebut sebagai perayaan itu. Segelas bir madu yang tidak habis-habis menjadi temanku sepanjang malam.

Bekas pertarunganku sendiri tidak kelihatan; tubuh musuh-musuhku sudah lenyap jauh sebelum mereka sempat menginjakkan kaki ke bukit maupun lapangan untuk bergabung ke pertempuran akbar.

Tamu kejutan yang kuhadapi tempo hari adalah sepasukan kurcaci. Kecil tetapi tangguh, prajurit yang gagah berani. Mereka menyusup lewat bawah tanah dan menciptakan serangkaian gempa bumi mini. Aku meniup api ke dalam tanah, membakar segelintir kurcaci, sementara yang selamat muncul ke permukaan lalu menghunus senjata masing-masing.

Kami bertarung secara frontal di pinggir hutan. Tiap serangan berulang kali mengingatkanku tentang seberapa hebat keahlian kaum kurcaci pada bidang persenjataan. Bilah pedang dan anak panah mereka menyimpan trik-trik khusus yang seringkali gagal kuantisipasi. Seperti bom asap yang meledakkan asam di wajahku, mesin cungkil yang digunakan untuk mengeruk sisik-sisikku, dan anak panah yang masuk ke telingaku dan hampir memburai otakku.

Yang paling parah di antara semua ialah kekejaman mesin penghancur batu. Mereka menaruhnya di pergelangan tanganku ketika aku sedang fokus menghindari serangan anak-anak panah ke otak. Awalnya, sekadar dijepit kuat-kuat tidak sampai menghancurkan tanganku, tetapi daya tekan mesin itu bertambah dan aku mau tak mau mesti berjuang membebaskan diri.

Aku berhasil menarik lenganku sampai terbebas meskipun tulang-tulangku berpuntir dan menonjol ke luar kulit.

Jumlah dan lokasi pun turut mengunggulkan mereka. Seratus kurcaci bersenjatakan macam-macam memanfaatkan lingkup area hutan—yang menyediakan ruang terbatas untuk api serta manuver terbangku, memojokkanku sehingga tidak sanggup bergerak leluasa.

Peluang menang datang menghampiriku sewaktu aku menggagas strategi baru, yakni mengubur para kurcaci di bawah batang-batang pohon. Tidak ada pilihan lain. Kalau tidak ingin mati diserbu karena bertransformasi ke wujud manusia, aku harus memanfaatkan kerusakan yang ditimbulkan wujud nagaku. Kebakaran hutan niscaya berlebihan dan tidak adil bagi hutan secara menyeluruh, maka aku memilih menggunakan tenaga fisik.

Pohon-pohon negeri raksasa berbatang luar biasa tebal, aku sudah mencoba menebangnya menggunakan pecutan duri ekorku dan berkali-kali menemui kegagalan. Namun, tak lama kemudian kuketahui bahwa komposisi akar mereka lebih lemah. Bukan berarti rencanaku berjalan mudah, terutama mengingat aku melakukannya sambil mempertaruhkan lenganku yang cedera. Hanya saja, di tengah pertarungan nan intens, rasa sakit mudah diabaikan karena kita cenderung memfokuskan perhatian kepada hal lain.

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now