[21] Troya - I Shall Not Breathe, For Death is The Only Way In

4.3K 807 177
                                    

a/n: IM SOORRRRY IM SO SORRY IM SOR—

FIRST OF ALL, ENJOY!

**

KEPERGIANKU disambut cerahnya suasana pagi, matahari bagaikan tersenyum mengetahui aku berpotensi meninggal dalam dua puluh empat jam ke depan. Dari jendela kamarku di salah satu menara, aku bisa melihat permukaan laut di kejauhan berkilauan memantulkan biru langit yang bersih tak berawan, sekawanan burung terbang melintasi bangunan-bangunan Kastel Batu Sakral, berkicau-kicau berisik dan meminta dibakar. Kubiarkan kehangatan sinar mentari menyiram wajahku selagi aku berjalan ke pinggir tebing tertinggi di lereng bukit, setelah diam-diam keluar dari kastel pagi buta itu, tidak repot-repot berpamitan. Toh aku tidak merasa ada seorang pun yang membutuhkannya.

Tidak seorang pun. Tidak di punggung Oceanus ini maupun Oceanus yang lain.

Tebing yang kutuju terletak berlawanan arah dengan lokasi kastel sendiri; jarak yang terbilang jauh untuk ditempuh bahkan jika menggunakan kereta kuda, tetapi tidak bagi sayapku. Aku terjun melompati jalur kereta di depan gerbang kastel menjemput jurang di dasar bukit, bertransformasi di tengah-tengah kejatuhan. Selama beberapa menit aku terbang memutari lereng bukit dalam wujud nagaku, kemudian bertransformasi lagi beberapa detik sebelum mendarat turun.

Ini bukan kunjungan pertamaku ke tempat ini. Semalam langit mendung, arak-arak awan kelabu datang menyembunyikan taburan bintang paling terang, sungguh berbanding terbalik dengan pagi hari sekarang. Pada waktu yang sama pula, aku segera mengangkasa dalam rangka menjauh dari kastel, energi yang terkumpul karena tidur siang membantuku melacak lokasi terpencil di perbukitan yang kemungkinan luput dijaga bangsa elf.

Di sanalah aku berjumpa Elysian Windheist, keempat kalinya sejak ia mengubah identitas menjadi bajingan kelas satu berjudul Elias Wind.

"Sekarang kau membantu bangsa elf," ia menyapa sambil tersenyum miring. Armor-nya mengilap bak habis dipoles. "Tidak lebih buruk ketimbang bangsa raksasa, sih."

Aku menjaga jarak dan mengawasinya baik-baik. Sisik biru di leher Elysian berpendar redup, dan gumpalan awan mendung nyatanya tidak sanggup menghalau kerlap-kerlip sinar bintang yang tersimpan di matanya. "Kau ... tidak membawa borgol," ujarku, merasa konyol luar biasa.

"Jadi kau lebih suka diborgol setiap kita berbicara? Karena aku sebenarnya bawa." Elysian menggapai ke balik tubuh dan mengeluarkan sepasang borgol antinaga yang teramat kubenci. "Buat jaga-jaga." Senyum miringnya kini adalah seringai yang memamerkan gigi.

Aku memelotot. "Kenapa kau di sini?"

"Sudah kubilang kita akan bertemu lagi, teman masa kecil. Lagi pula pertanyaan yang benar adalah kenapa kau di sini. Kau pasti punya dugaan aku bakal datang," balas Elysian.

Terdiam sejenak, aku memikirkan rencana dadakan yang sebelumnya telah kususun apabila Elysian betul-betul datang malam ini. Umpatan mengalir di kepalaku, merutuki diri sendiri. Shapeshifter naga langit itu kini hadir di hadapanku dan aku malah sempat-sempatnya meragu. Diiringi embusan napas berat, aku berucap setengah hati, "Aku butuh bantuan."

Menalengkan kepala dan menatapku seolah-olah aku sudah hilang kewarasan, Elysian mengambil langkah lebar-lebar ke arahku, dan aku refleks mundur sambil mengatur posisi kuda-kuda siap menyerang. "Dari 'musuh'mu?" tanya Elysian keheranan, memberi penekanan dengan menunjuk dadanya. "Yang kau sumpahi akan kau bunuh sendiri dan juga agar kematiannya berlangsung menyakitkan? Kau rupanya pandai sekali menjalin kerjasama dengan musuh, Troya. Pertama bangsa raksasa, lalu bangsa elf, dan sekarang—"

"Aku belum memberi bantuan apa-apa kepada bangsa elf."

"Belum," ulang Elysian.

"Ya, dan untuk itu aku butuh bantuanmu."

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now